Sabtu, 08 November 2014

PEMIMPIN YANG “MELANGIT DAN MEMBUMI”



            Ternyata menjadi seorang leader itu tidak segampang membuat kue atau mengerjalakan soal-soal logaritma. Membuat kue dapat selesai dalam waktu beberapa jam saja. Membuat kue hanya perlu membaca resepnya dan menyiapkan alat serta bahannya saja. Mengerjakan soal-soal matematika juga mungkin hanya membutuhkan waktu 120 menit saja. Jika sudah menguasi rumusnya maka semua soal dapat ditaklukkan dengan sangat mudahnya. Bahkan ada cara-cara smartnya yang mempermudah mengerjakan soal-soal matematika hanya beberapa menit saja dari pengerjaan normalnya. Berbeda dengan memimpin orang banyak yang tidak ada resep manjur yang bisa langsung mengatasi segala macam permasalahan yang muncul. Memimpin butuh tenaga, pemikiran serta benar-benar meluangkan waktu yang banyak.
            Sehingga tidak jarang pemimpin yang belum profesional, memimpin anggotanya dengan mengedepankan emosi. Ketika anggotanya tidak melakukan sesuai apa yang dia inginkan maka emosilah yang pertama kali berbicara. Pemandangan seperti inilah yang terjadi ketika saya pertamakali diberikan kepercayaan sebagai seorang leader. Yakni menjadi seorang wakil ketua oganisasi BES (badan eksekutif santri) disebuah pondok pesantren. Setelah sebelumnya ada beberapa orang yang mencoba memimpin BES tetapi gagal ditengah-tengah perjalanan.  Kegagalan mereka rata-rata karena tidak dapat menjalankan roda kepemimpinan BES dengan baik, disebabkan oleh adanya beberapa anak yang tidak bisa diatur dengan baik. Nah, ditengah-tengah kegagalan yang mewarnai sejumlah pimpinan BES tersebut, saya diminta untuk tampil memberikan suasana kepemimpinan yang baru dan bisa membawa anggota kedalam keberhasilan. Seribu harapan dan cita-cita dengan terpilihnya pemimpin baru ini. Walaupun kita tahu bahwa  ini adalah tugas yang sangat berat.
            Perasaan bangga bercampur seribu kekhawatiran akan bayang-bayang kegagalan sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya terus membayangi selama masa kepemimpinanku. Dan masih ditambah lagi sebuah tanggung jawab besar yang tidak main-main.
            Sekarang saya benar-benar sebagai seorang leader yang haruys bekerja keras. Maka hari demi haripun saya lalui dengan beberapa program yang telah disusun sebelumnya, yang merupakan gabungan antara program-program yang sebelumnya telah dibuat oleh pimpinan lama dengan program baru hasil kreatifitasku. Dari sinilah saya bisa merasakan bagaimana harus menggerakkan dan memanajemen orang banyak agar sumber daya yang dia punyai bisa termanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dari beberapa hari yang sudah aku lalui itu aku sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa memimpin orang itu ternyata tidaklah mudah. Pembangkangan demi pembangkangan, protes, kritik, sampai hinaan adalah pemandangansetiap hari yang harus aku hadapi sebagai seorang leader. Sangat sulit sekali untuk menggerakkan meka pada program yang telah disusun.
            Akhirnya yang tumbuh dalam diriku adalah sikap putus asa, jengkel, marah dan lain sebagainya terhadap para anggota yang tidak mau dipimpin. Kemudian sifat tersebut menumbuhkan cara-cara yang keras, kasar, kata-kata yang kasar dan menyakitkan ketika menggerakkan teman-teman pada suatu pekerjaan. Buah dari itu semua bukanlah kepatuhan dari anggota kan tetapi malah pembangkangan demi pembangkangan terhadap perintah yang diberikan atau berusaha untuk bekerja seminimal mungkin.
            Setiap saat pemandangan itulah yang selalu mewarnai kepemimpinanku dan bawahan pun semakin membangkang pula. Seolah-olah berbanding lurus dengan apa yang saya lakukan. Semakin saya keras memaksa mereka juga semakin membangkang melaksanakan perintah. Masa kepemimpinanku tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian karena tidak ada kesingkronan antara pimpinan dengan anggota akhirnya BES (Badan Eksekutif Santri) harus dibubarkan.
            Sebagai pengantinya, maka diangkatlah kepala asrama (sebelumnya merupakan berada dibawah BES). saya pada saat itu terpaksa turun jabatan dan menjadi bawahan kepala asrama. Disitulah saya bisa melihat  kaadaan diri saya sendiri yang ternyata juga tidak bisa secara sempurna mematuhi perintah yang diberikan oleh kepala asrama. Diri saya tidak jauh beda dengan teman-teman lain yang dulunya aku pimpin. Ya kadang sama-sama malas, sama-sama sering berbuat kesalahan, sama-sama sering tidak tepat waktu dalam tugas. Saya rasa itulah sifat asli dari manusia yang sulit untuk dihilangkan seluruhnya, tetapi hanya bisa dimanagemen saja.
            Dari sinilah, aku mulai sadar bahwa setiap manusia (bawahan-red) mempunyai segudang kelemahan. Selalu memimpin mereka dengan emosi dan kata-kata umpatan, bukanlah sebuah solusi. Hal itu hanya akan menambah pembangkanagan mereka terhadap pemimpin bukannya semakin bertambah baik. Pemimpin tidak boleh melihat bawahannya seperti orang yang sedang diatas langit. Ketika melihat kebawah (melihat bawahannya) yang dengan segudah kelemahan dan kesalahan, tampak demikian rendah dan kecil. Seolah-olah dia merasa asing dengan kelemahan yang dimiliki bawahannya. Kesalahan bawahan seolah-olah tidak bisa termaafkan, teringat selama-lamanya. Dirinya seolah-olah suci dari segala kesalahan. Sehingga ketika menyuruh mereka selalu menggunakan kata-kata yang kasar dan kemarahan. Kalau terjadi kegagalan terhadap apa yang dia perintahkan maka bawahannya itu akan menjadi sasaran kemarahannya. Dengan begitu akan muncul sikap-sikap otoriter dalam kepemimpinannya karena dia telah merasa “paling/lebih” dalam segala hal, paling pintar, paling baik, paling sempurna dan kelebihan-kelebihan yang lain. Pemimpin diatas langit ini biasanya orang-orang yang dulunya tidak pernah merasakan dipimpin. Tidak pernah menjadi bawahan yang ternyata tidak bisa sempurna dalam setiap tindakannya, selalu ada celah kesalahan di sana-sini.
Tetapi pemimpin juga tidak boleh seperti orang yang sama-sama berada di bumi, tidak mampu memberikan evaluasi dan tindakan yang tegas atas segala kesalahan dan kekurangan bawahannya. Takut terhadap bawahannya, entah itu takut melukai perasaan bawahannya atau ketakutan akibat kurangnya percaya diri. Dengan pola kepemimpinan yang seperti ini bawahan akan carut-marut, bekerja sendiri-sendiri sekehendak hatinya. Akhirnya target keberhasilan yang ingin dicapai pun menjadi tidak jelas. Kalau tujuannya sudah tidak jelas maka hasilnya pun pasti akan lebih tidak jelas lagi. Beberapa kesalahan yang seharusnya bisa dievaluasi kemudian diperbaiki di kemudian hari pun akan menjadi terbengkalai. Tak ada evalusi yang itu artinya juga tidak ada perbaikan di kesempatan selanjutnya. Kesalahan akan seterusnya menjadi kesalahan dan akan senantiasa bertambah seiring dengan pekerjaan yang dilakukannya. Pemimpin yang seperti ini biasanya pemimpin yang belum mempunyai sejarah kepemimpinan. Pengalaman-pengalaman tentang memimpin orang belum ada. Akhirnya ketika mencoba memimpin orang sifat yang muncul adalah sifat takut, minder (kurang percaya diri), merasa lebih rendah, kurang pengalaman, dan lain sebagainya.
 Cara yang terbaik hanyalah memulai menjadi pemimpin yang “melangit dan membumi”. Maksudnya, menjadi pemimpin yang mampu memanagemen, mengevaluasi, dan memperbaiki baik kesalahan ataupun kekurangan bawahan dengan cara-cara yang baik. Pemimpin yang mempunyai otoritas terhadap bawahannya tanpa harus bertindak otoriter. Itulah pemimpin ideal dan pemimpin yang dicintai oleh bawahannya. Tipe seperti ini biasanya pemimpin yang sudah banyak pengalamanannya di bidang kepemimpinan dan juga telah banyak merasakan bagaimana sulitnya ketika harus menjadi bawahan.
            Setelah beberapa lama menjadi bawahan, akhirnya kesempatan untuk menjadi seorang leader pun datang kembali. Saya atas pilihan dari semua temen-temen akhirnya diangkat menjadi kepala asrama. Ilmu yang sudah saya terima tersebut kemudian saya terapkan pada kepemimpinanku yang sekarang ini. Dengan penerapan sistem kepemimpinan yang “melangit dan membumi” tersebut akhirnya keadaan berbeda dengan semula. Era kepemimpinanku yang sekarang ini terasa lebih indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar