Selasa, 07 Januari 2014

BULAN BUGIL BULAT



                Senja kini telah berganti malam. Kegelapannya perlahan-lahan merasuki ruang dibumi. Kepekatannya yang mengerikan perlahan-lahan mulai turun, tetapi malam ini kepekatannya tak seperti malam-malam yang telah berlalu, berkat sinarnya sang bulan di angkasa sana. Suara jangkrik riuh rendah bernyanyi bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam itu. Namun suaranya tak mampu menghibur hati seorang ibu yang sedang bersedih didalam rumah tua nan reot yang atapnya dari genting-genting tua itu hampir rubuh.
                Di sebuah rumah reot itu dibawah temaramnya sinar lampu minyak yang cahayanya bergoyang kekiri-kekanan ditiup angin yang masuk melalui lubang ventilasi yang tak beraturan dan bertebaran dirumah itu akibat dindingnya telah keropos dimakan waktu, tampaklah seorang ibu yang dipipi keriputnya dibanjiri dengan derasnya air mata. Tangannya menggengam erat-erat tangan anaknya Wijaya Permana namanya. Sebuah nnama yang gagah berani seperti seorang tokoh dalam cerita fiktif dalam cerita Elang Sutawijaya yang berhasil selamat setelah menunggu gedung pusaka kerajaan mataram yang konon angker. Tangan wijaya kini hanya tinggal tulang-belulang saja akibat sakit yang dia derita sejak seminggu yang lalu. Penyakitnya ini berawal ketika pada suatu senja hari yang temaram setelah seharian menanggisi kepergian ayahnya yang merantau ke sebuah kota yang berjuluk kota katrokpolitan. Dia rela meninggalkan putra semata wayangnya demi uang untuk membayar utangnya yang telah membengkak, awalnya utangnya tidak besar, Cuma Rp. 50.000,00 yang sekedar ia gunakan untuk memperbaiki pintu yang jebol akibat diamuk angin. Tetapi lama-kelamaan akibat jerat rentenir, utangnya kini menjadi Rp. 500.000,00. Dia diancam akan dibunuh jika tidak segera melunasi utang tersebut.
                Ibu yang berluluran air mata tersebut masih memegang tangan anaknya, kini semakin lama semakin erat. Sementara anaknya yang sudah tertidur dengan pulasnya sesekali mengigau karena panas ditubuhnya kini hamper mencapai tiga puluh derajat celcius. Melihat keadaan anaknya tersebut, tangisan ibunya semakin tersedu-sedu bertambah keras. Suara tangisannya sang ibu itu seolah-olah terdengar seperti menggiringi suara jangkrik yang berderik bernyanyian riang diluar sana dibawah cahaya bulan yang cahayanya menembus rindangnya dedaunan.
                Cahaya bulan diangkasa nan tinggi disana juga turut menyibak ketemaraman isi rumah reot yang hanya diterangi oleh satu lampu minyak yang tergantung disisi atas sebuah dinding dekat tempat tidur itu. Cahaya bulan yang menembus kaca yang penuh dengan debu, seolah-olah turut menghibur hatinya wijaya yang kini sedang larut dalam sebuah kepiluan yang terbungkus oleh duka lara nestapa. Tangisan tersedu-sedunya sejak tadi belum juga mereda. Matanya yang penuh lelehan air mata itu memandang bulan bugil bulat diantara ratus ribuan bintang-bintang yang bertebaran diangkasa raya sana. Tampaklah lembah-lembah dibulan itu seperti lukisan seorang bidadari yang sedang memangku anaknya. Yang tak pernah melepaskan anaknya dari pangkuannya barang sedetik ataupun seperdetikpun. Sejak zaman dinaosaurus belum lahir hingga kini dinaosaurus sudah punah ia tak pernah dan tak menginginkan sama sekali untuk melepaskan anaknya dari dekapan hangatnya.
                “Nak, sayangku padamu tak akan pernah lapuk oleh hujan apalagi lekang oleh berjalannya waktu. Walaupun kini engkau sedang sakit separah ini, ibumu ini tetap menyayagimu seperti bidadari dibulan sana yang selalu memangku anaknya dengan rasa penuh kasih sayang”bisik ibunya kepada wijaya permana disamping telingga kananya sambil tersedu-sedu menahan suara tangisannya. Dielus-elusnya juga rambut anaknya yang kini kering kerontang akibat tak pernah keramas seminggu belakangan ini akibat penyakitnya yang tak kunjung sembuh-sembuh juga.
                Tangisan itu kini perlahan-lahan mulai mereda, hingga akhirnya tangisan itu tak terdengar lagi bak ditelan gelapnya dan sunyinya malam ini. Yang terdengar kini hanyalah suara musik jangkrik dan jarum jam yang tergantung didinding dekat lemari. Suaranya menyanyat-nyanyat kesunyian malam, kreek…..krekkk….kkreee…..k.
                Angin malam yang dinginnya minta ampun, berhembus menerobos celah-celah rumah, sebagian menghempas dua insane yang sedang tertidur lelap, mungkin sedang terbuai dalam indahnya mimpi. Sebagiannya lagi menghempas api lampu minyak sehingga kini lenggokkannya semakin hot saja. Cahayanya mulai terllihat sayu dan kelelahan karena telah berkecamuk bersama bulan melawan gelapnya malam ini, sejak suara adzan magrib bergema di puncak menara tinggi di sebuah surau di desa itu.
                Suara renggekan itu kembali terdengar lagi dari mulut munggil wijaya memanggil ibunya.
“bu…ibu…uuu…sa…akit…bu..sa..kiitt.” renggek wijaya kepada ibunya.
                Dengan spontan ibunya terbangun dan kembali mengelus-elus rambut anaknya.
                “ya, nak ibu tahu…emang sakit nak…tapi, tenanglah nak, ini hanyalah cobaan dari Yang Maha Kuasa. Pasti aka nada hikmahnya dibalik semua ini.” Kata ibunya menengkannya.
                Kemudian diambilnya kain merah lalu dicelupkannya kedalam air lalu meletakkannya di atas kening Wijaya Permana  agar panasnya cepat turun. Diambilnya juga nyiur kelapa yang masih muda lalu diikatkan dikepala anaknya untuk menguranggim rasa sakit di kepalanya akan tetapi rengekannya belum juga berhenti.
                “saaa….kkkkiit, buuu…sakiiiiit,buuu aduh sakit bangeeet.”
                “ia nak. Diamlah biar cepat sembuh, ntar kalau udah sembuh dan bapakmu sudah pulang, terus Wijaya mau beli apa?” kata ibunya membujuk agar anaknya berhenti menangis.
                “Wijaya, ehm Wijaya mau beli mobil-mobilan merah yang guuueede banget, boleh kan bu?” Wijaya mengucapkan permintaannya sambil terisak-isak dalam tangisnya.
                “boleh-boleh saja asalkan kamu nanti sudah sembuh ya nak. Makanya agar cepat sembuh kamu sekarang behenti menangis kemudian tidur supaya besok kalau kamu bangun tidur kamu sudah sembuh, oke.”
                Sambil dielus-elus kakinya, perlahan-lahan namun pasti ia mulai tidur lagi. Kemudian ibunya pun juga ikut tertidur lagi disampingnya setelah ia menyelimuti tubuh anaknya.



                ##################################################################### 


                Kini pagipun perlahan-lahan mulai turun menjelang bersama embun pagi yang bersahaja, yang menemani keindahan pagi ini sebelum sang raja siang bangun dari tempat peraduannya.
                Kedua insan, seorang anak dan ibunya masih tertidur terlelap, sementara lampu minyak yang berlenggok-lenggok semalam suntuk kini sinarnya telah padam. Jangkrik-jangkrik yang konser semalam penuh diantara tumpukan daun-daun kering dan dibawah bongkahan tanah bekas ketela dicabut, kini telah terdiam seribu bahasa.
                Bulan bugil bulat tempat bidadari memangku anaknya kini telah menghilang ditelan hampanya bumi. Kepergiannya menimbulkan duka yang amat sangat bagi jangkrik-jangkrik yang berderik semalaman.