Minggu, 09 November 2014

Maqashid Syari'ah



KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Puji syukur tentunya tidak boleh kita lupakan untuk senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berjuta-juta kenikmatan. Yang seandainya semua air lautan dijadikan sebagai tintanya dan semua pohon-pohon dihutan dijadikan sebagai kertasnya. Kemudian digunakan untuk menuliskan nikmat-nikmat Allah SWT, niscaya tidak akan pernah cukup walaupun harus ditambah dengan tujuh lautan dan tujuh hutan yang semisal. Karena memang sangat banyak sekali nikmat yang Allah SWT berikan kepada hamba-hambanya sejak kita bangun tidur hingga kita tidur lagi. Namun, diantara itu semua ada dua kenikmatan yang sifatnya tidak temporer (terbatas dengan jangka waktu), yaitu nikmat iman dan nikmat islam yang masih terpatri kuat dalam hati kita. Seandainya, kedua kenikmatan ini kita jaga sampai akhir hayat kita maka kita akan mendapatkan ganjaran berupa kenikmatan surga, yang mana kita akan kekal abadi didalamnya untuk menikmati segala macam hidangan-hidangan yang penuh dengan kenikmatan tersebut.
Selanjutnya shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan dan juga terlimpahkan kepada baginda Nabi akhir zaman, yang diberikan suatu hak istimewa untuk memberikan syafa’atnya kepada hamba-hambanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang syafa’atnya selalu kita nanti-nantikan dihari yaumil akhir kelak. Semoga kita semua termasuk dari umat Nabi SAW. Yang akan mendapatkan curahan Syafa’atnya. Amin.
            Selanjutnya makalah yang ada dihadapan saudara/i ini merupakan pembahasan seputar cara penentuan hukum melalui Maqashid Syari’ah. Semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan saudara/i semuanya.


   Penulis         

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................1
DAFTAR ISI ..................................................................................................2
BAB I       PENDAHULUAN..........................................................................3
BAB II      PEMBAHASAN................................................................................            5
1. Pengertian Maqashid Syari’ah ..................................................5
2. Sejarah Perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah ........................6
3. Penentuan Hukum melalui Maqashid Syari’ah ……………………..9
BAB III PENUTUP.........................................................................................
BAB IV DAFTAR PUSTAKA.........................................................................61











BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Hukum yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia, karena hukum diciptakan oleh Allah tentu bukan untuk Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) karena Allah tidak membutuhkan suatu hukum untuk diri-Nya, dan tentu bukan pula diciptakan untuk hukum itu sendiri karena kalau demikian maka keberadaan hukum itu akan sia-sia, akan tetapi hukum diciptakan untuk kehidupan manusia di dunia. Dengan demikian, hukum yang terkandung dalam ajaran agama Islam memiliki dinamika yang tinggi, oleh karena itu, hukum Islam dibangun di atas karakteristik yang sangat mendasar, antara lain; rabbany; syumuly; akhlaqy; insany; waqi’iy. Dari kelima karakter tersebut dapat dikatakan bahwa hukum Islam berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat manusia yang terus berkembang mengikuti perubahan tanpa bertentangan dengan nilai-nilai yang digariskan oleh Allah SWT.
Hukum Islam (Syari’ah) merupakan norma Allah yang prinsip dan sumbernya berasal dari wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Namun, Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) tetap memberikan ruang bagi manusia melalui nalar akal pikirannya untuk terlibat langsung baik dalam memberi pemahaman terhadap wahyu tersebut ataupun dalam mengaplikasikan hukum itu sendiri sebagai pedoman hidupnya. Sekalipun demikian, dalam perjalanan sejarah pembangunan hukum Islam masih ditemukan sebahagian ahli fiqh sering terkesan sangat berhati-hati dan teliti, bahkan cenderung takut dalam menangani perubahan hukum akibat adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan. Sementara di sisi lain ada sebagian dari mereka (ulama) yang terkesan berani melakukan perannya baik dalam posisinya subyek hukum atapun sebagai obyek hukum.
Dari kondisi tersebut di atas, para ahli hukum Islam (faqih) telah berhasil membentuk system hukum Islam dan membangun metode penemuan hukum (Islamic Jurisprudence) sehingga muncullah metode-metode dalam beristinbat dengan menggunakan kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah sarana penemuan hukum Islam. Artinya kedua metode tersebut telah banyak memberikan ruang gerak dalam menggali teks (nash al-Quran dan as-Sunnah) guna memenuhi kebutuhan hukum bagi ummat manusi, sehingga dalam perkembangannya, telah memunculkan kajian-kajian kritis yang menghendaki agar hukum Islam dapat lebih mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan dianggap penting untuk  diformulasikan berdasarkan nilai-nilai esensialnya yang disebut sebagai “Maqashid al-Syari’ah”.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Maqashid Syari’ah?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah?
3.      Bagaimana cara menentukan hukum melalui Maqashid Syari’ah?
C.   Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dan sejarah perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah.
2.      Dapat cara menentukan hukum melalui Maqashid Syari’ah.












BAB II
PEMBAHASAN
1.       Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara literal Maqashid Syari’ah merupakan kata majmuk (murakkab idlafi) yang terdiri dari kata maqashid dan as-syari’ah. Menurut kata dasarnya, kedua kata tersebut masing-masing mempunyai pengertian tersendiri. Kata ”Maqashid” adalah jama’ (plural) dari kata ”maqshad” (mashdar mimy) dari kata kerja ”qashada, yaqshidu qashdan wa maqshadan” yang memiliki arti sebagai legitimasi atau komitmen terhadap jalan yang benar.
n?tãur «!$# ßóÁs% È@Î6¡¡9$# $yg÷YÏBur ֍ͬ!$y_ 4 öqs9ur uä!$x© öNà61yolm; šúüÏèuHødr& ÇÒÈ  
Artinya:
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).” (Q.S. Al-Nahl 16: 9)
Dapat diartikan juga sebagai keseimbangan dan moderat,
ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ  
Artinya:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”(Q.S. Luqman 31: 19).
Sedangkan kata ”Syari’ah” secara harfiah berasal dari akar kata "syara'a" dan memiliki dua arti yaitu: (a) sebagai sumber air (mata air) yang dapat digunakan sebagai air minum, orang Arab menyebutnya: "masyra'at al-mãi" artinya: "maurid al-mãi" (sumber air). (b) sebagai jalan yang benar (lurus),
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ  
Artinya:
”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah 54: 18).
Dalam kaitan ini, kedua arti di atas dapat dipadukan karena kata "Syari'ah" berarti jalan yang membekas menuju air karena sudah sering dilalui, tetapi digunakan dalam pengertian sehari-hari sebagai sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup mereka).
ôNuä!%y`ur ×ou$§y (#qè=yör'sù öNèdyŠÍ#ur 4n<÷Šr'sù ¼çnuqø9yŠ ( tA$s% 3uŽô³ç6»tƒ #x»yd ÖN»n=äî 4 çnrŽ| r&ur Zpy軟ÒÎ/ 4 ª!$#ur 7OŠÎ=tæ $yJÎ/ šcqè=yJ÷ètƒ ÇÊÒÈ  
Artinya:
”Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, Maka Dia menurunkan timbanya, Dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" kemudian mereka Menyembunyikan Dia sebagai barang dagangan. dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yusuf 12: 19)
Dua kata di atas (maqashid dan syari’ah) jika digabung menjadi satu maka bisa menghasilkan makna sebagai ”maksud agama atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama”.[1]
2.       Sejarah perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah
Pertama, ”masa penyemaian”, abad ke-1 H. Salah satu sampel ijtihad berdasarkan maqashid di masa Nabi, sebagaimana dikemukakan Jaser Audah (pakar maqashid modern), adalah  ijtihad Sahabat terkait hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang secara tekstual melarang melaksanakan solat asar kecuali di Bani Quraidhah. Pada waktu itu Sahabat yang memahami hadis tersebut secara maqâshidiy melaksanakannya ditengah perjalanan, bukan di Bani Quraidlah. Mereka memahami bahwa maksud dari hadis adalah al-isrâ’ (bergegas). Meskipun secara tekstual apa yang mereka lakukan berpunggungan dengan makna lahir teks akan tetapi dibenarkan karena sesuai dengan tujuan yang terkandung dalam teks. Ini terbukti ketika kasus diadukan kepada Nabi, Nabi pun tak mengingkari.
Bagi Jaser, hadis tersebut merupakan dasar bolehnya menggali maqashid dari teks berdasarkan dugaan yang kuat (dhan al-ghâlib). Sepeninggal Nabi saw., khususnya di tangan sahabat Umar ra. ijtihad-ijtihad yang berlandaskan kemaslahatan yang merupkan pilar utama maqashid lebih marak lagi digalakkan.
Kedua, “masa kodifikasi dan ilmu”, abad ke-2 H. Pada periode ini mulai bermunculan kitab-kitab yang menyiratkan pemikiran maqashid syari’ah. Ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh besar semisal Abu Hanifah, Malik bin Anas yang secara khusus pemikiran maqashidnya dikaji oleh Dr. Muhammad Ahmad al-Fayati Muhammad dalam buku Maqâshid al-Syar’iah ‘inda Imâm, kemudia al-Syafi’i, al-Auza’i dll. Sederhananya, pada masa ini pemikiran maqashid mulai tersirat dalam kitab.
Ketiga, “masa keemasan”, abad ke-3, ke-4 dan ke-5 H.  Oleh Ahmad al-Raisuni masa ini disebut sebagai masa kejayaan teori maqashid. Dimana mulai bermunculan ulama-ulama yang intens menelurkan karya-karya yang lebih fokus berbicara maqashid. Diantaranya: al-Hakim al-Turmudzi (w. 320 H.) dengan al-Shalâh wa Maqâshiduha-nya dimana untuk pertama kali secara eksplisit istilah al-maqâhasid muncul sebagai judul bukunya; Abu Bakar al-Syasyi (w. 365 H.) atau yang dikenal dengan al-Qafal al-Kabir, dengan Mahâsin al-Syarî’ah-nya yang dianggap sebagai karya klasik terpenting dalam bidang maqashid; Abu al-Hasan al-Amiri (w. 381 H.) dengan al-I’lâm bi Manâqib al-Islâm-nya dimana dalam kitab ini muncul untuk pertamakali teori dlarûriyyât al-khamsah  (hifdhuu al-dîn, hifdhu al-nafs, hifdhu al-nasl, hifdhu al-‘aql, hifdhu al-mâl) meskipun dengan istilah berbeda; Ibn Babawaih al-Qummi, dikenal Syaikh Sahduq (w. 387 H.), tokoh Syi’ah Imamiyah, dengan ‘Ilal al-Syar’î yang merupakan karya agungnya dalam bidang maqashid, kemudian ‘Ilal al-Hajj dan ‘Ilal al-Wudlû’.
Terkhusus abad ke-5 H. teori maqashid mengalami perkembangan signifikan: dari yang juz’iyyah (parsial) menjadi kulliyyah (universal). Dimana al-Juwaini (w. 478 H.) dan Imam al-Gahazali (w. 505 H.) sebagai tokoh yang paling berpengaruh. Pada masa inilah untuk pertama kali, di tangan al-Juwaini, kita mengenal maqashid kulliyyah dan juz’iyyah. Di tangannya maqashid bisa dibilang cukup matang. Oleh Dr. Abdun Nur Bazza masa ini disebut sebagai fase “pembasisan teori” dimana dimulai peletakan kaidah-kaidah dasar dan dasar-dasar universal (al-ushûl al-kulliyyah) maqashid dalam bentuknya yang ilmiah.
Di tangan al-Juwaini banyak bermunculan istilah-istilah baru maqashid semisal: al-kulliyyât, al-mashâlih al-‘âmmah, al-istishlâh dsb. Al-Juwaini juga sebagai ulama yang pertama membagi konsep “kemaslahatan” menjadi tiga: al-dlarûriyyât (primer), al-hâjiyyât (sekunder) dan al-tahsîniyyât (tersier). Di tangan beliau inilah lahir kaidah: al-hâjah al-’Âmmah tunzal manzilah al-dlarûrah al-khamsah (kebutuhan yang bersifat umum menempati posisi lima kemaslahatan primer).
Sedangkan di tangan al-Ghazali, khusunya melaui kitab al-Mustashfâ dan Syifâ’ al-Ghalîl-nya, al-dlarûriyyât al-khamsah mendapatkan namanya seperti yang populer saat ini beserta urutannya: hifdhu al-dîn, hifdhu al-nafs, hifdhu al-‘aql, hifdhu al-nasl, hifdhu al-mâl, setelah ditangan al-Juwaini menggunakan istilah ‘ishmah. Bahkan ia dianggap sebagai ulama yang menyebutkan alasan-alasan hukum-hukum syariah paling banyak, khususnya  dalam karya monumentalnya: Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.
Keempat, “masa stagnasi”, abad ke-6 H. Pada periode ini maqashid mengalami kemandekan. Bahkan secara keseluruhan, dunia keilmuan Islam mengalami stagnasinya. Sebagaimana menurut Ahmad al-Raisuni dan Abdullah Darraz. Hal ini terkuak dilihat dari kitab-kitab yang ada hanya sebatas meringkas dan mensyarahi kitab-kitab sebelumnya dan minim inovasi.
Kelima, “masa kebangkitan dan kematangan”, ti tangan tokoh-tokoh abad ke-7 sampai ke-8 H. Diantaranya: Izz al-Din bin Abd al-Salam (w.660 H.), dengan Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm-nya. Dia adalah ulama yang pertama mengadopsi kata mashâlih sebagai judul bukunya. Kemudian al-Qarafi melalui al-Furûq-nya yang menambahkan hifdhu al-‘ardl (melindungi harga diri) kedalam cakupan al-dlarûriyyât. Selain itu juga bermunculan ulama-ulama hebat seperti: Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Di tangan keempat tokoh tersebut disebut oleh Dr. Abdun Nur bazza sebagai “fase kombinasi antara pembasisan teoritis dan kontekstualisasi praktis.”
Puncak kematangan maqashid adalah di tangan al-Syathibi (abad ke-8 H.) melalui kitab al-Muwâfaqât-nya yang mengembangkan melalui pendekatan analitis-induktif (tahlîlî-istiqrâ’î). Sebagian kontribusi beliau antaranya: membangun ushul fikih di atas dasar dasar maqashid, tokoh pertama yang menambahkan maqâshid al-mukallaf (tujuan-tujuan seorang mukallaf) ke dalam tema maqashid, tokoh yang menawarkan metodologi yang dengannya tujuan-tujuan Tuhan akan diketahui secara komprehensif, secara eksplisit tidak memperkenankan ijtihad sebelum menguasai Maqashid al-Syari’ah, dan masih banyak lainya.
Keenam, “masa stagnasi kedua”. Paska al-Syathibi hingga munculnya Muhammad Abduh. Di sini (antara abad ke-9 hingga ke-14 H.) maqashid syari’ah kembali menjadi memorabilia berdebu setelah sekian lama menjadi primadona keilmuan Islam.
Ketujuh, “masa kebangkitan”, di era modern, ditandai dengan dicetaknya kitab al-Muwâfaqât  untuk pertama kali di Tunisia pada tahun 1884 M.  Kemudian berikutnya pada tahun 1909 M. di cetak di kota Kazan Rusia dan di Mesir pada tahun 1922 M. Diantara ulama yang paling berjasa menyebarkan al-Muwâfaqat di Mesir adalah Abdullah Darraz, murid Abduh. Dari Mesir kitab kemudian menyebar ke penjuru Jazirah Arabia. Kemudian, sederhananya, terjadilah dialektika intens antara ulama modern di segala penjuru dengan al-Muwâfaqât. Dari dialektika tersebut lahirlah fase baru, fase kebangkitan ilmu maqashid al-syari’ah di era moden
Di Tunisia, tempat al-Muâfaqât pertama dicetak, pengaruh kitab ini cenderung lebih cepat dan terasa. Sebab itu pada tahun 20-an dan 30-an abad ke-20 M. banyak bermunculan tokoh-tokoh maqashid. Dari iklim yang sangat terpengaruhi oleh al-Muwâfaqât dan penuh perbincangan maqashid ini kemudian lahirlah tokoh maqashid  modern, Muhammad al-Thahir bin Asyur (w. 1973 M.) dengan karya monumentalnya Maqâshid al-Syarî’ah al-Islamiyyah. Semantara di Maroko lahir Allal al-Fasi (w. 1974 M.) dengan Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha, dan banyak lagi ulama-ulama dalam bidang ini.[2]

3.       Penentuan hukum melalui Maqashid Syari’ah
Hukum yang telah Allah SWT tetapkan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempuyai tujuan yang jelas yaitu mendatangkan dan memelihara kemashlahatan (kebaikan) sekaligus menghindari kemafsadatan (kerusakan baik di dunia dan diakherat). Dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut, maka berdasarkan penelitian ulama Ushul Fiqih ada lima unsur pokok yang harus dijaga dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu adalah: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maka seseorang dapat dikatakan memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya jika dia dapat memelihara dan mewujudkan dengan baik dan optimal kelima unsur pokok tersebut. Dan seseorang akan mendapatkan kerusakan jika ia tidak berusaha untuk memelihara dan mewujudkan kelima pokok tersebut.[3]
Ibnul Qayim berkata:
“Dasar syari’ah adalah kemaslahatan di dunia dan akherat. Syari’ah semuanya adil, semuanya rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari adil kepada curang, dari rahmat kepada lawannya, dari maslahah kepada mafsadah, dari hikmah kepada sia-sia sama sekali bukan syari’ah. Syariah itu keadilan Allah diantara hamba-Nya dan rahmat Allah diantara makhluk-Nya dan bayangan Allah di bumi-Nya dan hikmah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran Rasul-Nya.”[4]
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Maqashid syari’ah dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut tingkat kepentingannya.
1.    Dharuriyat (primer) adalah tingkatan dimana berbagai maslahat tersebut tidak akan terealisasikan tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Tentang hal ini Imam Al Ghazali berkata:
“Memelihara kelima maslahat tersebut termasuk ke dalam tingkatan dharuriyat.”
Secara global, menghindarkan setiap perbuatan yang mengakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok di atas tergolong sebagai dharury (prinsip). Syari’at islam sangat menekankan pentingnya memelihara hal-hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) diperbolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang yang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai daging babi dan meminum arak.
2.    Hajjiyat (sekunder) adalah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tersebut, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan masyaqad, kesempitan atau ihtiyt (berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut. Termasuk kategori ini dalam perkara-perkara mubah, ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia, seperti akad Muzara’ah, Musaqah, Salam, Murabahah, dan Tauliyah. Apabila tidak diperoleh maka tidak akan merusak peraturan hidup dan tidak pula menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
3.    Tahsiniyat atau kamaliyat (pelengkap) adalah hal-hal yang tidak dalam rangka merealisasikan kelima hal pokok dan tidak pula dalam rangka ihtiyath (berhati-hati), akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi kelima hal tersebut. Apabila tidak terpenuhi kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak menimbulkan kesulitan, hanya saja dinilai kurang layak dan kurang pantas dilihat dari ukuran tata-krama dan kesopanan.[5]
     Ditinjau dari segi kaidah umum (qawaid kulliyah) maslahat itu bertingkat-tingkat. Maslahat yang bersifat dharuriat lebih diutamakan daripada kemaslahatan yang bersifat hajjiyat. Sebaliknya, maslahat yang bersifat tahsiniyat lebih diakhirkandari maslahat dharuriyat dan hajjiyat.[6]
     Jika dalam memelihara hukum tahsiniyat justru merusak hukum dharuriat dan hajjiyat, maka hukum tahsiniyat tidak perlu dipertahankan. Oleh karena itu diperbolehkan membuka aurat, apabila diperlukan untuk pengobatan atau tindakan yang bersangkutan dengan perawatan luka-luka. Karena menutup aurat adalah tahsiniyat, sedangkan pengobatan adalah dharuriyat. Diperbolehkan memakan barang najis, apabila itu merupakan obat atau keadaan terpaksa. Karena menghindari najis adalah tahsiniyat, sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuriyat. Begitu juga diperbolehkan menjual benda tak ada di tempat dalam hal salm dan istishna’ (kontak pesanan), dan ketidaktahuan termasuk dalam hal kontrak pertanian, irigasi dan menjual barang yang tidak tampak, dmaafkan karena kebutuhan manusia menghendaki maka tahsiniyat ini bisa ditinggalkan.
     Hukum hajjiyat juga bisa ditinggalkan jika di dalam memeliharanya merusak hukum dharuriyat. Untuk itu beberapa kefardhuan dan kewajiban, wajib dilaksanakan oleh orang mukallaf yang tidak dalam rukhshoh, sekalipun dalam melaksanakannya dirasakan sulit dan berat bagi orang itu. Karena setiap pembebanan pasti mengandung beban dan kepayahan. Seandainya perlu dipeliharaagar kesulitan apa saja tidak menimpa seorang mukalaf, niscaya beberapa hukum dharuriyat yang berupa ibadah, uqubah, dan lain-lainnya menjadi sia-sia. Karena setiap perintah dan larangan terhadap mukalaf adalah dalam rangka memelihara dharuriyat, tidak terlepas dari keberadaannya dalam melaksanakannya. Tetapi beban keberatan ini pada dasarnya untuk memelihara hukum-hukum dharuriyat bagi orang yang mukalaf.
     Hukum-hukum dharuriyat itu wajib dipelihara. Tidak boleh merusak salah satu hukum daripadanya, kecuali bila dalam memelihara hukum dharuriyat itu merusak hukum dharuriyat lain yang lebih penting. Oleh karena itu wajib berjihad untuk mempertahankan agama sekalipun disana terjadi pengorbanan jiwa. Atau seseorang diperbolehkan meminum khamer karena dipaksa meminumnya atau karena rasa haus yang sangat menyengat. Kerena memelihara jiwa lebih penting daripada memelihara akal.[7]
     Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai tingkatan Maqashid Syari’ah maka berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing. Uraian ini bertitik tolak dari kelima hal pokok kemaslahatan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
a.       Memelihara agama (hifz al-din)
            Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelihara agama dalam tingkatan dharuriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban agamayang termasuk tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu. Apabila shalat ini diabaikan maka akan terancamlah keutuhan agama.
2.      Memelihara agama dalam tingkatan hajjiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari esulitan seperti shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian jauh. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama melainkan hanya akan mempersulit orang yang sedang berpergian.
3.      Memelihara agama dalam tingkatan tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat dalam shalat maupun diluar shalat, membersihkan badab serta pakaian. Kegiatan ini erat dengan akhlak terpuji. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam keutuhan agama dan tidak mempersulit orang yang melakukannya. Artinya jika tidak ada penutup aurat maka seseorang boleh saja shalat jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk dharuriyat.
b.      Memelihara jiwa (hifz an-nafs)
            Menjaga dan memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.  
1.      Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan terancamya jiwa manusia.
2.      Memelihara jiwa dalam tingkat hajjiyat seperti diperbolehkannya berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat. Kalau kegiatan ini diabaikan maka tidak akan mengacam eksistensi manusia melainkan akan mempersulit hidupnya saja.
3.      Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum. Hal ini hanya berhubungan dengan masalah kesopanan dan sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia maupun mempersulit kehidupan manusia.
c.       Memelihara akal (hifz al-aqal)
            Menjaga dan memelihara akal berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelihara akal dalam tingkat dharuriyat seperti dilarangnya meminum minuman keras. Jika hal ini tidak diindahkan maka akan mengakibatkan rusaknya akal.
2.      Memelihara akal dalam tingkat hajjiyat seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal ini tidak diakukan maka tidak akan merusak akal tapi akan mempersulit kehidupan seseorang.
3.      Memelihara akal pada tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal ini berkaitan erat dengan etika dan tidak akan mengancam eksistensi akal atau mempersulit kehidupan seseorang.
d.      Memelihara keturunan (hifz an nasl)
            Menjaga dan memelihara keturunan berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelhara keturunan dalam tingkat dharuriyat seperti disyariatkannya menikah dan larangan berzina. Kalau peraturan ini tidak dipatuhi maka akan mengancam keutuhan keturunan.
2.      Memelihara keturunan dalam tingkat hajjiyat seperti ditetapkan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan memberikan hak talak kepada sang suami. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan menyulitkan si suami karena dia harus membayar mahar misil. Sedangkan dalam masalah talaq sang suami akan mengalami kesulitan jika dia tidak menggunakan hak talaknya sedangkan kondisi rumh tangganya sudah tidak harmonis lagi.
3.      Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat, seperti disyari’atkannya khitbah (meminang) atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam keutuhan keturunan tapi hanya sedikit mempersulit saja.
e.       Menjaga harta (hifz al mal)
                        Menjaga dan memelihara harta berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelihara harta dalam tingkat dharuriyat seperti disyariatkannya tata cara kepemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Jika aturan ini dilanggar maka akan mengancam keutuhan harta.
2.      Memelihara harta dalam tingkat hajjiyat seperti disyariatkannya jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang membutuhkan modal.
3.      Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan masalah etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kesahan jual beli sebab peringkat ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang pertama dan kedua.
                        Uraian diatas hanya terbatas pada maslahat yang berbeda peringkat saja. Adapun yang peringkatnya sama seerti peringkat dharuriyat dengan peringkat dharuriyat yang lainnya maka kemungkinan penyelesaiannya sebagai berikut.
a.       Jika perbuatan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok kemaslahatan tersebut maka skala prioritasnya didasarkan kepada urutan yang lebih baku, yakni agama harus didahulukan dari jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada contoh berikut ini.
Jihad dijalan Allah SWT termasuk dharuriyat untuk memelihara eksistensi agama. Tetapi jihad seringkali mengorbankan jiwa. Maka dalam hal ini memelihara agama lebih diutamakan daripada memelihara jiwa. Karena agama berada peringkat agama sedangkan jiwa berada diperingkat kedua.
b.      Seseorang dibenarkan untuk meminum khamer yang memabukkan walaupunpada dasarnya dapat merusak eksistensi akal. Hal ini dilakukan apabila ia terancam jiwanya jika tidak meminum khamer itu. Dalam kasus seperti ini harus didahulukan memelihara jiwa daripada memelihara akal. Karena jiwa lebih tinggi peringkatnya daripada akal.[8]  
















BAB III
PENUTUP
1.     Kesimpulan
a.       Maqashid Syari’ah adalah maksud agama atau hal-hal yang menjadi tujuan agama.
b.       


2.     Kritik dan Saran
Dalam makalah ini tentunya terdapat banyak sekali kekurangan demi kekurangan untuk itu kami meminta kritik dan sarannya demi perbaikan makal ini kedepannya.



















DAFTAR PUSTAKA
Drs. Safiudin Shidiq, M.Ag. “Ushul Fiqih”. PT Media Ciptanusantara, hal. 169
Prof. M. Abu Zahrah. “Ushul Fiqih”. Pustaka Firdaus:Jakarta, 2008, hal. 553-555
Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin. “Ushul Fiqih II”. Pustaka Setia: Bandung, 2001. Hal.127 
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf. “Ilmu Ushulul Fiqh”. Gema Risalah Press:Bandung, 1992, hal. 368-369.

















[1]http://www.makalahkuliah.com/search/label/Fikih
[2]
[3]  Drs. Safiudin Shidiq, M.Ag. “Ushul Fiqih”. PT Media Ciptanusantara, hal. 169
[4]  Drs. Khairul Uman & Drs. H. A. Achyar Aminudin. “Ushul Fiqih II”. Pustaka Setia: Bandung, 2001. Hal.127 

[5] Prof. M. Abu Zahrah. “Ushul Fiqih”. Pustaka Firdaus:Jakarta, 2008, hal. 553-555

[6]   Id.at 557.

[7]  Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf. “Ilmu Ushulul Fiqh”. Gema Risalah Press:Bandung, 1992, hal. 368-369.
[8] Drs. Khairul, Op.Cit.,170-174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar