Sabtu, 22 November 2014

Mempertahankan Nyawa dengan Iman



SANTRI
            Tentunya kita semua ingat kisah Ashabul Ukhdud. Suatu kisah yang amat menarik tentang bagaimana mempertahankan keimanan sampai mengorbankan nyawanya. Seorang Pendeta dan temannya seorang sang pemuda rela digergaji sampai badannya terbelah menjadi dua bagian. Seorang pemuda yang rela mati disalib oleh sang raja dan penduduk-penduduk yang beriman, termasuk seorang bayi yang akhirnya juga ikut mati untuk mempertahankan imannya.
            Seorang santri tentunya pernah berkali-kali mendengar cerita ini sehingga sudah sangat familier sekali. Tujuan dari cerita tersebut agar seorang santri mampu mempertahankan imannya sampai diakhir hayatnya sebagaimana ayat berikut ini.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran 3:102)
            Tetapi ayat itu belum sepenuhnya teraplikasi di dalam kehidupan spiritual seorang santri. Seharusnya santri bisa mempertahankan iman dengan nyawanya. Tetapi justru mempertahankan nyawa dengan imannya. Artinya, mereka beriman untuk mempertahankan eksistensi di depan ustadznya ataupun agar tidak terkena hukuman. Kondisi seperti ini sangat bertolak belakang dengan kondisi kehidupan spiritual ulama-ulama salafus shalih. Mereka sangat menjaga imannya walaupun nyawa sebagai taruhannya.
Lalu kalau kehidupan spiritual santri tetap seperti ini, maka bagaimana nanti ketika dihadapkan pada;
-          Kehidupan luar pesantren yang tidak ada hukuman ketika meninggalkan ibadah, bahkan cenderung pada kemaksiatan dan cuek dengan kegiatan ibadah. Apakah nanti iman di hatinya masih tersisa walau sebesar zarah?
Pada kenyataan yang terjadi saat ini, kebanyakan santri yang lulus dari pondok banyak meninggalkan amalan-amalan yang dulunya sempat mereka jalankan selama di pondok.
-          Seruan berjihad, mengorbankan nyawa dan harta benda. Akankah mereka mematuhi seruan itu?
Kita sering mendengar berita, umat islam di sana-sini diperangi oleh kaum kafirin tetapi mana peran alumni pesantren? Hampir tidak kelihatan. Sekedar mendoakan saja kadang sudah dianggap hal yang berat dan tidak punya waktu apalagi berbicara tentang jihad dengan nyawa dan harta benda.
            Sikap ini juga terasa bukan hanya setelah santri itu lulus dari pesantren tetapi ketika masih jadi santri pun efek itu sudah terasa. Yakni, mereka tidak bisa merasakan manisnya iman dan ibadah. Ibadah dianggap sebagai beban berat yang mau tidak mau harus dijalankan kalau tidak ingin mendapatkan hukuman.
            Menurut pendapat penulis seharusnya seorang santri ketika masih menjalankan proses belajarnya di pondok pesantren harus seperti Nabi Ibrahim AS yang mencari Tuhannya. Nabi Ibrahim AS berusaha untuk menganalisa tentang anggapan-angapan yang selama ini muncul tentang siapa yang harus dia Tuhankan. Seharusnya seorang santri pun begitu, berusaha menganalisa apa yang selama ini menjadi motivasi ibadahnya saat ini. Apakah seorang ustadz pantas dijadikan motivasi ibadah? Atau pantaskah pujian, baik itu dari teman maupun ustadz untuk dijadikan sebagai motivasi ibadah? Kalau begitu siapakah yang pantas dijadikan sebagai motivasi ibadah kita?
            Dalam pencarian ini pada akhirnya akan berujung pada sebuah kesimpulan bahwa apa yang selama ini dijadikan motivasi ibadah itu sebenarnya tidak pantas. Ini merupakan suatu titik tolak dari kesadaran itu, bahwa hanya Allah SWT yang pantas kita jadikan sebagai orientasi ibadah, bukan ustadz atau pujian. Dengan begitu secara otomatis akan memunculkan rasa bangga dengan keimanan yang dia miliki. Keimanan akan menjadi suatu aset terbesar yang harus dijaga walaupun nyawa sebagai taruhannya. Inilah kesadaran sejati itu, mempertahankan iman dengan nyawa bukan mempertahankan nyawa dengan iman.
Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan pencarian itu, kalau tidak sekarang maka kapan lagi? Sehingga nanti ketika sudah lulus dari pondok, kesadaran sejati itu sudah terbentuk. Apapun godaan yang datang setelah lulus dari pondok pesantren akan dapat dengan mudahnya dihalau. Sebab keimanannya sudah seperti keimanan Ashabul Akhdud yang terpatri kuat dalam hatinya. Walau seribu rintangan tak akan mampu merobohkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar