Depok, 8 November 2014
Kepada,
Yth. Bapak Joko Widodo
di tempat
assalamualaikum wr wb.
Dengan hormat,
Alhamdulillah saya baik-baik saja dan selalu dalam
lindungan allah swt. Kuharap bapak demikian pula adanya.
Semua manusia terlahir ke dunia tanpa membawa apapun.
Sehelai benang saja tak membawanya. Apalagi jabatan, mobil mewah, rumah mewah
dan harta. Tidak juga terlahir dengan membawa berbagai macam keahlian. Terlahir
dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak tahu apa-apa. Yang dibawa hanya satu
saja yakni, menangis sebagai suatu isyarat multi arti, untuk mengungkapkan
segala macam hajat-hajatnya. Termasuk bapak pun sebenarnya sama saja, walaupun
kini mempunyai segalanya, mulai dari uang, berbagai macam keahlian,
fasilitas-fasilitas hidup yang demikian mewah dan masih banyak lagi. Yang
dengan itu semua bapak begitu penuh keyakinan maju mencalonkan diri sebagai
presiden, pemimpin bagi semua orang di negeri ini. Akan tetapi itu semua bukan
di bawa dari lahir.untuk mencapai semua itu, yang awalnya tidak memiliki sama
sekali menjadi memiliki sepenuhnya tentulah membutuhkan suatu proses yang
demikian panjang. Proses itu kita kenal dengan proses pendidikan. Pendidikan
inilah yang kemudian mengubah kehidupan bapak dari sama sekali tidak mempunyai
apa-apa menjadi mempunyai segalanya. Pendidikan bagaikan suatu tangga eskalator
yang membawa orang yang menaikinya dari tempat yang satu ke tempat yang dia
inginkan. Pendidikanlah yang telah membesarkan nama bapak. Pendidikan jugalah
yang telah membawa nama bapak menjadi presiden. Tanpa adanya pendidikan
mustahil bapak dengan penuh percaya diri maju sebagai capres. Tanpa adanya
pendidikan mungkin bapak tak ubahnya hanya seperti bayi yang baru saja lahir,
tidak bisa apa-apa, kecuali menangis dan menangis saja.atau mungkin hanya
menjadi seperti halnya hewan di hutan yang pola pikirnya stagnan, tidak
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Bahkan mungkin sekali bapak tidak
bisa memakai baju dan celana sendiri. Untuk itu bapak harus berterima kasih
kepada pendidikan.
Kita semua tentunya sudah tahu bahwa rasa
terima kasih yang sebenarnya itu bukan hanya di lidah saja. Sebab lidah bisa
saja berbohong dan lidah juga tidak bertulang.
Rasa terima kasih yang sebenar-benarnya harus bisa terefleksikan
(tercerminkan) dalam sebuah tindakan nyata. Itu artinya jika bapak berterima
kasih pada pendidikan maka sudah menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi untuk direfleksikan dalam semua tindakan nyata yang bapak
lakukan., bukan hanya sekedar rangkaian kata-kata yang indah saja. Karena
kata-kata itu semu, kata-kata itu bisa menipu dan mengelabuhi. Sebuah rasa yang
hanya disimbolkan dengan sebuah kata-kata menjadi tak bermakna sama sekali.
serta akan di judge sebagai orang gila –bicara tanpa makna-, pecundang, ataupun
politisi yang manis mulutnya saja.
Refleksi dari rasa terima kasih itu bisa
bermacam-macam, tergantung dari peran apakah yang sedang dijalankannya. Dia
harus berfikir tentang bagaimana caranya dengan peran yang dia mainkan saat ini
bisa secara maksimal berpengaruh di dunia pendidikan. Seorang tukang sapu
tentunya akan berbeda perannya dengan seorang guru. Seorang guru juga akan
berbeda perannya dengan seorang kepala sekolah. Kepala sekolah pun juga akan
memainkan peran yang berbeda dengan menteri pendidikan. Begitu pula dengan
menteri pendidikan akan memainkan peran yang berbeda dengan presiden dalam
dunia pendidikan. Tetapi yang jelas dan pasti semuanya mempunyai peranan dalam pendidikan sebagai suatu upaya dalam
merefleksikan rasa terima kasihnya itu. sebagai seorang capres, ketika telah
terpilih nanti tentunya bapak mempunyai suatu peranan yang sangat vital sekali
dalam dunia pendidikan. Peranan itu tentunya harus sebisa mungkin dimaksimalkan
dengan sebaik-baiknya. Jika peran itu diabaikan
akan berakibat pada hancur leburnya dunia pendidikan. Dunia pendidikan
akan menjadi sangat kacau balau. Dan ini bukan tindakan yang diharapkan dari
sebuah refleksi rasa terima kasih itu.
Peran bapak yang di tunggu-tunggu oleh semua
lapisan masyarakat Indonesia adalah mewujudkan kondisi ruang lingkup pendidikan
yang kondusif serta mendukung sepenuhnya perkembangan pengetahuan peserta
didik. Tidak mudah memang mewujudkan cita-cita besar itu. semua orang menyadari
itu, bukan hanya seperti membalikkan kedua telapak tangan atau memejamkan kedua
kelopak mata. Apalagi untuk sekelas dunia pendidikan di Indonesia yang memang
sudah kacau balau sejak lama. Akan tetapi bukan suatu hal yang mustahil untuk
tercapainya cita-cita besar nan mulia itu. pasti disisi lain telah terbentang
suatu jalan kemudahan, tinggal yang menjadi sebuah pilihan adalah mau atau
tidak berkomitmen dan bekerja keras sepenuhnya untuk hal itu. ini tentunya
menjadi suatu pekerjaan rumah yang demikian rumit tetapi mutlak harus dikerjakan.
Salah satu dari sekian banyak problematika
yang harus segera diselesaikan dan menjadi suatu isu yang tidak pernah
berkesudahan adalah tentang mahalnya biaya pendidikan. Bermula dari faktor
inilah yang kemudian banyak orang tua yang merasa tidak bisa memasukkan anaknya
kesekolah atau sudah bersekolah tetapi dengan sangat terpaksa harus putus
ditengah jalan ataupun ada orang tua yang tidak mampu untuk melanjutnya
pendidikan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Padahal
pendidikan merupakan salah satu dari beberapa hak asasi manusia seperti yang
telah di tetapkan di dalam declaration of human right. Entah itu kaum miskin
atau orang kaya, kaum buruh atau kaum bangsawan, kaum berkulit putih maupun
hitam, semuanya berhak atas pendidikan tanpa ada pengecualian dan
deskriminatif. Akan tetapi walaupun begitu pada teorinya akan tetapi dalam implementasinya
sungguh sangat berlainan. Kaum miskin dan buruh kadang tidak sempat mengenyam
bangku sekolahan karena alasan biaya, kalaupun sempat hanya pendidikan tingkat
dan kualitasnya yang rendah. Sementara untuk kaum bangsawan yang kaya raya bisa
dengan mudah menikmati proses pendidikan tinggi dan berkualitas. Berarti ini
ada suatu pengecualian dan deskriminasi dalam jaminan pemenuhan HAM. Kalau
hak-hak lain mendapatkan pengecualian dan deskriminasi dalam pemenuhannya maka
akan dikategorikan sebagai suatu pelanggaran HAM. Misalnya, jika suara rakyat
diberangkus berarti pelanggaran HAM dalam bentuk kebebasan berpendapat. Tetapi
kalau pelanggaranHAM dalam masalah pendidikan yakni tidak terpenuhinya
kebutuhan akan pendidikan terlihat hanya seperti hal yang biasa-biasa saja,
seperti bukan sebuah pelanggaran. Padahal tanpa terpenuhinya hak pendidikan,
maka akan ada hak-hak lain yang secara tidak langsung juga akan terancam
eksistensinya. Seperti hak mendapatkan pekerjaan yang layak dan hak
berpendapat. Bagaimana mungkin orang yang tidak berpendidikan akan mendapatkan
pekerjaan yang layak sementara para penyedia lapangan pekerjaan dari hari ke
hari semakin tinggi tuntutannya terhadap tingkat pendidikan pekerjanya. Orang
yang tidak berpendidikan yan mungkin hanya akan mendapatkan pekerjaan rendahan
dan kasar seperti, pengemis, ngamen, atau tukang sampah. Jika sudah kepepet
harus mendapatkan uang dalam jumlah yang banyak akhirnya jalan satu-satunya
yang ditempuh adalah mencuri atau mencopet. Apakah ini yang disebut sebagai
pekerjaan yang layak?
Bagaimana mungkin pula orang yang tidak berpendidikan
bisa memberikan pendapat/ide yang konstruktif? Paling-paling pendapatnya hanya
terpengaruh atau sengaja dijadikan sebagai komoditas bagi orang-orang yang
berkepentingan.
Gara-gara
permasalahan klasik yang tidak kunjung diselesaikan ini ternyata bukan hanya
mengancam eksistensi hak-hak individu yang lainnya. Tetapi juga akan mengancam
eksistensi negeri ini. Negeri ini akan dihuni oleh orang-orang bodoh yang
dengan mudahnya bisa ditipu. Mutiara-mutiara yang seharusnya bisa menjadikan
negeri ini makmur akan terpendam didasar bumi. Kemudian orang-orang bodoh lagi
miskin ini pada akhirnya akan menghasilkan generasi selanjutnya yang juga
orang-orang bodoh, miskin dan mudah ditipu. Begitu seterusnya yang kemudian
akan menghasilkan lingkaran setan yang tidak akan terputus kecuali adanya
kesungguhan untuk memutuskan salah satu siklusnya. Dengan kualitas penduduk yang
miskin dan bodoh sementara penduduk di negara lain semakin hari semakin
berkembang pola pikirnya, maka tak khayal peluang mereka untuk menipu kita akan
semakin besar. Lalu mereka akan mengeruk seluruh sumber daya yang ada di negeri
ini dan kita dijadikan sebagai pembantunya. Kita seolah-olah menjadi pembantu
di rumah sendiri atau menjadi seekor tikus di lumbung padi yang mati kelaparan.
Penjajahan secara soft negeri ini sudah
terlihat benih-benihnya, dimana perusahaan-perusahaan besar sahamnya dikuasai
oleh asing atau bahkan sudah menjadi milik asing sepenuhnya. Warga-warga sipil
yang bodoh dan miskin harus direlokasi dari tempat tinggalnya dan akhirnya
terkatung-katung tidak mempunyai tempat tinggal. Dengan begitu kehancuran bangsa
ini sudah menjadi sebuah keniscayaan. Tinggal menunggu waktu saat-saat yang
paling mengenaskan untuk hancur. Apakah akan hancur hari ini juga ataukah lusa.
Seperti sebuah bom waktu yang tinggal menunggi jarumnya menunjukkan angka nol.
Besar
harapan kami agar bapak bisa terpilih sebagai presiden yang kemudian mampu
memperbaiki pendidikan di Indonesia ini. Terutama menuntaskan isu tentang
mahalnya biaya pendidikan yang membuat rakyat tidak mampu menyekolahkan
anaknya.
Atas
perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Suhardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar