SANTRI
Tentunya kita semua ingat kisah Ashabul
Ukhdud. Suatu kisah yang amat menarik tentang bagaimana mempertahankan
keimanan sampai mengorbankan nyawanya. Seorang Pendeta dan temannya seorang sang
pemuda rela digergaji sampai badannya terbelah menjadi dua bagian. Seorang
pemuda yang rela mati disalib oleh sang raja dan penduduk-penduduk yang
beriman, termasuk seorang bayi yang akhirnya juga ikut mati untuk
mempertahankan imannya.
Seorang santri tentunya pernah berkali-kali
mendengar cerita ini sehingga sudah sangat familier sekali. Tujuan dari cerita
tersebut agar seorang santri mampu mempertahankan imannya sampai diakhir
hayatnya sebagaimana ayat berikut ini.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم
مُّسۡلِمُونَ ١٠٢
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam”. (Q.S. Ali Imran 3:102)
Tetapi ayat itu belum sepenuhnya
teraplikasi di dalam kehidupan spiritual seorang santri. Seharusnya santri bisa
mempertahankan iman dengan nyawanya. Tetapi justru mempertahankan nyawa dengan
imannya. Artinya, mereka beriman untuk mempertahankan eksistensi di depan
ustadznya ataupun agar tidak terkena hukuman. Kondisi seperti ini sangat
bertolak belakang dengan kondisi kehidupan spiritual ulama-ulama salafus
shalih. Mereka sangat menjaga imannya walaupun nyawa sebagai taruhannya.
Lalu kalau kehidupan spiritual santri tetap seperti ini, maka
bagaimana nanti ketika dihadapkan pada;
-
Kehidupan
luar pesantren yang tidak ada hukuman ketika meninggalkan ibadah, bahkan
cenderung pada kemaksiatan dan cuek dengan kegiatan ibadah. Apakah nanti iman
di hatinya masih tersisa walau sebesar zarah?
Pada kenyataan yang terjadi saat ini, kebanyakan santri yang lulus
dari pondok banyak meninggalkan amalan-amalan yang dulunya sempat mereka
jalankan selama di pondok.
-
Seruan
berjihad, mengorbankan nyawa dan harta benda. Akankah mereka mematuhi seruan
itu?
Kita sering mendengar berita, umat islam di sana-sini diperangi
oleh kaum kafirin tetapi mana peran alumni pesantren? Hampir tidak kelihatan.
Sekedar mendoakan saja kadang sudah dianggap hal yang berat dan tidak punya waktu
apalagi berbicara tentang jihad dengan nyawa dan harta benda.
Sikap ini juga terasa bukan hanya
setelah santri itu lulus dari pesantren tetapi ketika masih jadi santri pun
efek itu sudah terasa. Yakni, mereka tidak bisa merasakan manisnya iman dan ibadah.
Ibadah dianggap sebagai beban berat yang mau tidak mau harus dijalankan kalau tidak
ingin mendapatkan hukuman.
Menurut pendapat penulis seharusnya
seorang santri ketika masih menjalankan proses belajarnya di pondok pesantren harus
seperti Nabi Ibrahim AS yang mencari Tuhannya. Nabi Ibrahim AS berusaha untuk
menganalisa tentang anggapan-angapan yang selama ini muncul tentang siapa yang
harus dia Tuhankan. Seharusnya seorang santri pun begitu, berusaha menganalisa
apa yang selama ini menjadi motivasi ibadahnya saat ini. Apakah seorang ustadz
pantas dijadikan motivasi ibadah? Atau pantaskah pujian, baik itu dari teman
maupun ustadz untuk dijadikan sebagai motivasi ibadah? Kalau begitu siapakah
yang pantas dijadikan sebagai motivasi ibadah kita?
Dalam pencarian ini pada akhirnya
akan berujung pada sebuah kesimpulan bahwa apa yang selama ini dijadikan
motivasi ibadah itu sebenarnya tidak pantas. Ini merupakan suatu titik tolak
dari kesadaran itu, bahwa hanya Allah SWT yang pantas kita jadikan sebagai orientasi
ibadah, bukan ustadz atau pujian. Dengan begitu secara otomatis akan
memunculkan rasa bangga dengan keimanan yang dia miliki. Keimanan akan menjadi
suatu aset terbesar yang harus dijaga walaupun nyawa sebagai taruhannya. Inilah
kesadaran sejati itu, mempertahankan iman dengan nyawa bukan mempertahankan
nyawa dengan iman.
Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan pencarian itu,
kalau tidak sekarang maka kapan lagi? Sehingga nanti ketika sudah lulus dari
pondok, kesadaran sejati itu sudah terbentuk. Apapun godaan yang datang setelah
lulus dari pondok pesantren akan dapat dengan mudahnya dihalau. Sebab
keimanannya sudah seperti keimanan Ashabul Akhdud yang terpatri kuat
dalam hatinya. Walau seribu rintangan tak akan mampu merobohkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar