KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb.
Puji syukur tentunya tidak boleh kita lupakan untuk senantiasa kita
panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berjuta-juta kenikmatan. Yang
seandainya semua air lautan dijadikan sebagai tintanya dan semua pohon-pohon
dihutan dijadikan sebagai kertasnya. Kemudian digunakan untuk menuliskan
nikmat-nikmat Allah SWT, niscaya tidak akan pernah cukup walaupun harus
ditambah dengan tujuh lautan dan tujuh hutan yang semisal. Karena memang sangat
banyak sekali nikmat yang Allah SWT berikan kepada hamba-hambanya sejak kita
bangun tidur hingga kita tidur lagi. Namun, diantara itu semua ada dua
kenikmatan yang sifatnya tidak temporer (terbatas dengan jangka waktu), yaitu
nikmat iman dan nikmat islam yang masih terpatri kuat dalam hati kita.
Seandainya, kedua kenikmatan ini kita jaga sampai akhir hayat kita maka kita
akan mendapatkan ganjaran berupa kenikmatan surga, yang mana kita akan kekal
abadi didalamnya untuk menikmati segala macam hidangan-hidangan yang penuh
dengan kenikmatan tersebut.
Selanjutnya shalawat beriringkan salam semoga senantiasa
tercurahkan dan juga terlimpahkan kepada baginda Nabi akhir zaman, yang
diberikan suatu hak istimewa untuk memberikan syafa’atnya kepada
hamba-hambanya, yaitu Nabi Muhammad SAW, yang syafa’atnya selalu kita
nanti-nantikan dihari yaumil akhir kelak. Semoga kita semua termasuk dari umat
Nabi SAW. Yang akan mendapatkan curahan Syafa’atnya. Amin.
Selanjutnya makalah
yang ada dihadapan saudara/i ini merupakan pembahasan seputar cara penentuan
hukum melalui Maqashid Syari’ah. Semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan saudara/i
semuanya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.....................................................................................1
DAFTAR ISI
..................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 5
1. Pengertian Maqashid Syari’ah ..................................................5
2. Sejarah Perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah
........................6
3. Penentuan Hukum melalui Maqashid Syari’ah ……………………..9
BAB III
PENUTUP.........................................................................................
BAB IV DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................61
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum
yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia, pasti memiliki tujuan untuk
kemaslahatan manusia, karena hukum diciptakan oleh Allah tentu bukan untuk
Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) karena Allah tidak membutuhkan suatu
hukum untuk diri-Nya, dan tentu bukan pula diciptakan untuk hukum itu sendiri
karena kalau demikian maka keberadaan hukum itu akan sia-sia, akan tetapi hukum
diciptakan untuk kehidupan manusia di dunia. Dengan demikian, hukum yang
terkandung dalam ajaran agama Islam memiliki dinamika yang tinggi, oleh karena
itu, hukum Islam dibangun di atas karakteristik yang sangat mendasar, antara
lain; rabbany; syumuly; akhlaqy; insany; waqi’iy.
Dari kelima karakter tersebut dapat dikatakan bahwa hukum Islam berakar pada
prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang
sangat luas, dapat menampung perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan ummat
manusia yang terus berkembang mengikuti perubahan tanpa bertentangan dengan
nilai-nilai yang digariskan oleh Allah SWT.
Hukum Islam (Syari’ah)
merupakan norma Allah yang prinsip dan sumbernya berasal dari wahyu (Al-Quran
dan Sunnah). Namun, Allah sebagai Syari’ (Lawgiver) tetap memberikan
ruang bagi manusia melalui nalar akal pikirannya untuk terlibat langsung baik
dalam memberi pemahaman terhadap wahyu tersebut ataupun dalam mengaplikasikan
hukum itu sendiri sebagai pedoman hidupnya. Sekalipun demikian, dalam
perjalanan sejarah pembangunan hukum Islam masih ditemukan sebahagian ahli fiqh
sering terkesan sangat berhati-hati dan teliti, bahkan cenderung takut dalam
menangani perubahan hukum akibat adanya perubahan waktu, tempat dan keadaan. Sementara di
sisi lain ada sebagian dari mereka (ulama) yang terkesan berani melakukan
perannya baik dalam posisinya subyek hukum atapun sebagai obyek hukum.
Dari
kondisi tersebut di atas, para ahli hukum Islam (faqih) telah berhasil
membentuk system hukum Islam dan membangun metode penemuan hukum (Islamic
Jurisprudence) sehingga muncullah metode-metode dalam beristinbat dengan
menggunakan kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyah sarana penemuan hukum Islam.
Artinya kedua metode tersebut telah banyak memberikan ruang gerak dalam
menggali teks (nash al-Quran dan as-Sunnah) guna memenuhi kebutuhan hukum bagi
ummat manusi, sehingga dalam perkembangannya, telah memunculkan kajian-kajian
kritis yang menghendaki agar hukum Islam dapat lebih mendatangkan kemaslahatan
bagi manusia dan dianggap penting untuk diformulasikan berdasarkan
nilai-nilai esensialnya yang disebut sebagai “Maqashid al-Syari’ah”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian Maqashid Syari’ah?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah?
3.
Bagaimana
cara menentukan hukum melalui Maqashid Syari’ah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian dan sejarah perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah.
2.
Dapat
cara menentukan hukum melalui Maqashid Syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Maqashid Syari’ah
Secara literal Maqashid
Syari’ah merupakan kata majmuk (murakkab
idlafi) yang terdiri dari kata maqashid dan as-syari’ah. Menurut kata dasarnya, kedua kata tersebut masing-masing mempunyai
pengertian tersendiri. Kata ”Maqashid” adalah jama’ (plural) dari kata ”maqshad”
(mashdar mimy) dari kata kerja ”qashada, yaqshidu qashdan wa
maqshadan” yang memiliki arti sebagai legitimasi atau komitmen terhadap
jalan yang benar.
’n?tãur «!$# ߉óÁs% È@‹Î6¡¡9$# $yg÷YÏBur Öͬ!$y_ 4
öqs9ur uä!$x© öNà61y‰olm; šúüÏèuHødr& ÇÒÈ
Artinya:
“Dan
hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada
yang bengkok. dan Jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya
(kepada jalan yang benar).” (Q.S. Al-Nahl 16: 9)
Dapat diartikan juga
sebagai keseimbangan dan moderat,
ô‰ÅÁø%$#ur ’Îû šÍ‹ô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4
¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ
Artinya:
“Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”(Q.S. Luqman 31: 19).
Sedangkan kata ”Syari’ah” secara harfiah berasal dari akar kata
"syara'a" dan memiliki dua arti yaitu: (a) sebagai sumber air
(mata air) yang dapat digunakan sebagai air minum, orang Arab menyebutnya:
"masyra'at al-mãi" artinya:
"maurid al-mãi" (sumber
air). (b) sebagai jalan yang benar (lurus),
¢OèO y7»oYù=yèy_ 4’n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ÌøBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÑÈ
Artinya:
”Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu),
Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah 54: 18).
Dalam kaitan ini, kedua arti di atas dapat dipadukan karena kata "Syari'ah"
berarti jalan yang membekas menuju air karena sudah sering dilalui, tetapi
digunakan dalam pengertian sehari-hari sebagai sumber air yang selalu diambil
orang untuk keperluan hidup mereka).
ôNuä!%y`ur ×ou‘$§‹y™ (#qè=y™ö‘r'sù öNèdyŠÍ‘#ur 4’n<÷Šr'sù ¼çnuqø9yŠ (
tA$s% 3“uŽô³ç6»tƒ #x‹»yd ÖN»n=äî 4
çnr•Ž| r&ur Zpy軟ÒÎ/ 4
ª!$#ur 7OŠÎ=tæ $yJÎ/ šcqè=yJ÷ètƒ ÇÊÒÈ
Artinya:
”Kemudian
datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil
air, Maka Dia menurunkan timbanya, Dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini
seorang anak muda!" kemudian mereka Menyembunyikan Dia sebagai barang
dagangan. dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yusuf 12: 19)
Dua kata di atas (maqashid
dan syari’ah) jika digabung menjadi satu maka bisa menghasilkan makna sebagai
”maksud agama atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama”.[1]
2.
Sejarah perkembangan ilmu Maqashid Syari’ah
Pertama, ”masa penyemaian”,
abad ke-1 H. Salah satu sampel ijtihad berdasarkan maqashid di masa Nabi,
sebagaimana dikemukakan Jaser Audah (pakar maqashid modern), adalah
ijtihad Sahabat terkait hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang secara tekstual
melarang melaksanakan solat asar kecuali di Bani Quraidhah. Pada waktu itu
Sahabat yang memahami hadis tersebut secara maqâshidiy melaksanakannya
ditengah perjalanan, bukan di Bani Quraidlah. Mereka memahami bahwa maksud dari
hadis adalah al-isrâ’ (bergegas). Meskipun secara tekstual apa yang
mereka lakukan berpunggungan dengan makna lahir teks akan tetapi dibenarkan
karena sesuai dengan tujuan yang terkandung dalam teks. Ini terbukti ketika
kasus diadukan kepada Nabi, Nabi pun tak mengingkari.
Bagi Jaser, hadis
tersebut merupakan dasar bolehnya menggali maqashid dari teks berdasarkan
dugaan yang kuat (dhan al-ghâlib). Sepeninggal Nabi saw., khususnya di
tangan sahabat Umar ra. ijtihad-ijtihad yang berlandaskan kemaslahatan yang merupkan
pilar utama maqashid lebih marak lagi digalakkan.
Kedua, “masa kodifikasi
dan ilmu”, abad ke-2 H. Pada periode ini mulai bermunculan kitab-kitab yang
menyiratkan pemikiran maqashid syari’ah. Ditandai dengan munculnya
tokoh-tokoh besar semisal Abu Hanifah, Malik bin Anas yang secara khusus
pemikiran maqashidnya dikaji oleh Dr. Muhammad Ahmad al-Fayati Muhammad dalam
buku Maqâshid al-Syar’iah ‘inda Imâm, kemudia al-Syafi’i, al-Auza’i dll.
Sederhananya, pada masa ini pemikiran maqashid mulai tersirat dalam kitab.
Ketiga, “masa keemasan”,
abad ke-3, ke-4 dan ke-5 H. Oleh Ahmad al-Raisuni masa ini disebut
sebagai masa kejayaan teori maqashid. Dimana mulai bermunculan ulama-ulama yang
intens menelurkan karya-karya yang lebih fokus berbicara maqashid. Diantaranya:
al-Hakim al-Turmudzi (w. 320 H.) dengan al-Shalâh wa Maqâshiduha-nya
dimana untuk pertama kali secara eksplisit istilah al-maqâhasid muncul
sebagai judul bukunya; Abu Bakar al-Syasyi (w. 365 H.) atau yang dikenal dengan
al-Qafal al-Kabir, dengan Mahâsin al-Syarî’ah-nya yang dianggap sebagai
karya klasik terpenting dalam bidang maqashid; Abu al-Hasan al-Amiri (w. 381
H.) dengan al-I’lâm bi Manâqib al-Islâm-nya dimana dalam kitab ini
muncul untuk pertamakali teori dlarûriyyât al-khamsah (hifdhuu
al-dîn, hifdhu al-nafs, hifdhu al-nasl, hifdhu al-‘aql, hifdhu al-mâl) meskipun
dengan istilah berbeda; Ibn Babawaih al-Qummi, dikenal Syaikh Sahduq (w. 387
H.), tokoh Syi’ah Imamiyah, dengan ‘Ilal al-Syar’î yang merupakan karya
agungnya dalam bidang maqashid, kemudian ‘Ilal al-Hajj dan ‘Ilal
al-Wudlû’.
Terkhusus abad ke-5
H. teori maqashid mengalami perkembangan signifikan: dari yang juz’iyyah (parsial)
menjadi kulliyyah (universal). Dimana al-Juwaini (w. 478 H.) dan Imam
al-Gahazali (w. 505 H.) sebagai tokoh yang paling berpengaruh. Pada masa inilah
untuk pertama kali, di tangan al-Juwaini, kita mengenal maqashid kulliyyah
dan juz’iyyah. Di tangannya maqashid bisa dibilang cukup matang. Oleh
Dr. Abdun Nur Bazza masa ini disebut sebagai fase “pembasisan teori” dimana
dimulai peletakan kaidah-kaidah dasar dan dasar-dasar universal (al-ushûl
al-kulliyyah) maqashid dalam bentuknya yang ilmiah.
Di tangan al-Juwaini
banyak bermunculan istilah-istilah baru maqashid semisal: al-kulliyyât, al-mashâlih
al-‘âmmah, al-istishlâh dsb. Al-Juwaini juga sebagai ulama
yang pertama membagi konsep “kemaslahatan” menjadi tiga: al-dlarûriyyât
(primer), al-hâjiyyât (sekunder) dan al-tahsîniyyât (tersier). Di
tangan beliau inilah lahir kaidah: al-hâjah al-’Âmmah tunzal manzilah al-dlarûrah
al-khamsah (kebutuhan yang bersifat umum menempati posisi lima kemaslahatan
primer).
Sedangkan di tangan
al-Ghazali, khusunya melaui kitab al-Mustashfâ dan Syifâ’ al-Ghalîl-nya,
al-dlarûriyyât al-khamsah mendapatkan namanya seperti yang populer saat
ini beserta urutannya: hifdhu al-dîn, hifdhu al-nafs, hifdhu al-‘aql, hifdhu
al-nasl, hifdhu al-mâl, setelah ditangan al-Juwaini menggunakan istilah ‘ishmah.
Bahkan ia dianggap sebagai ulama yang menyebutkan alasan-alasan hukum-hukum
syariah paling banyak, khususnya dalam karya monumentalnya: Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn.
Keempat, “masa stagnasi”,
abad ke-6 H. Pada periode ini maqashid mengalami kemandekan. Bahkan secara
keseluruhan, dunia keilmuan Islam mengalami stagnasinya. Sebagaimana menurut
Ahmad al-Raisuni dan Abdullah Darraz. Hal ini terkuak dilihat dari kitab-kitab
yang ada hanya sebatas meringkas dan mensyarahi kitab-kitab sebelumnya dan
minim inovasi.
Kelima, “masa kebangkitan
dan kematangan”, ti tangan tokoh-tokoh abad ke-7 sampai ke-8 H. Diantaranya:
Izz al-Din bin Abd al-Salam (w.660 H.), dengan Qawâid al-Ahkâm fî Mashâlih
al-Anâm-nya. Dia adalah ulama yang pertama mengadopsi kata mashâlih
sebagai judul bukunya. Kemudian al-Qarafi melalui al-Furûq-nya
yang menambahkan hifdhu al-‘ardl (melindungi harga diri) kedalam
cakupan al-dlarûriyyât. Selain itu juga bermunculan ulama-ulama hebat
seperti: Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Di tangan keempat tokoh tersebut
disebut oleh Dr. Abdun Nur bazza sebagai “fase kombinasi antara pembasisan
teoritis dan kontekstualisasi praktis.”
Puncak kematangan
maqashid adalah di tangan al-Syathibi (abad ke-8 H.) melalui kitab al-Muwâfaqât-nya
yang mengembangkan melalui pendekatan analitis-induktif (tahlîlî-istiqrâ’î).
Sebagian kontribusi beliau antaranya: membangun ushul fikih di atas dasar dasar
maqashid, tokoh pertama yang menambahkan maqâshid al-mukallaf
(tujuan-tujuan seorang mukallaf) ke dalam tema maqashid, tokoh yang menawarkan
metodologi yang dengannya tujuan-tujuan Tuhan akan diketahui secara
komprehensif, secara eksplisit tidak memperkenankan ijtihad sebelum menguasai
Maqashid al-Syari’ah, dan masih banyak lainya.
Keenam, “masa stagnasi
kedua”. Paska al-Syathibi hingga munculnya Muhammad Abduh. Di sini (antara abad
ke-9 hingga ke-14 H.) maqashid syari’ah kembali menjadi memorabilia
berdebu setelah sekian lama menjadi primadona keilmuan Islam.
Ketujuh, “masa kebangkitan”,
di era modern, ditandai dengan dicetaknya kitab al-Muwâfaqât untuk
pertama kali di Tunisia pada tahun 1884 M. Kemudian berikutnya pada tahun
1909 M. di cetak di kota Kazan Rusia dan di Mesir pada tahun 1922 M. Diantara
ulama yang paling berjasa menyebarkan al-Muwâfaqat di Mesir adalah
Abdullah Darraz, murid Abduh. Dari Mesir kitab kemudian menyebar ke penjuru
Jazirah Arabia. Kemudian, sederhananya, terjadilah dialektika intens antara
ulama modern di segala penjuru dengan al-Muwâfaqât. Dari dialektika
tersebut lahirlah fase baru, fase kebangkitan ilmu maqashid al-syari’ah di era
moden
Di Tunisia, tempat al-Muâfaqât
pertama dicetak, pengaruh kitab ini cenderung lebih cepat dan terasa. Sebab itu
pada tahun 20-an dan 30-an abad ke-20 M. banyak bermunculan tokoh-tokoh
maqashid. Dari iklim yang sangat terpengaruhi oleh al-Muwâfaqât dan
penuh perbincangan maqashid ini kemudian lahirlah tokoh maqashid modern,
Muhammad al-Thahir bin Asyur (w. 1973 M.) dengan karya monumentalnya Maqâshid
al-Syarî’ah al-Islamiyyah. Semantara di Maroko lahir Allal al-Fasi (w. 1974
M.) dengan Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha, dan banyak
lagi ulama-ulama dalam bidang ini.[2]
3.
Penentuan hukum melalui Maqashid Syari’ah
Hukum yang telah Allah SWT tetapkan tidak ada yang sia-sia.
Semuanya mempuyai tujuan yang jelas yaitu mendatangkan dan memelihara
kemashlahatan (kebaikan) sekaligus menghindari kemafsadatan (kerusakan baik di
dunia dan diakherat). Dalam rangka mewujudkan cita-cita tersebut, maka
berdasarkan penelitian ulama Ushul Fiqih ada lima unsur pokok yang harus dijaga
dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu adalah: agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Maka seseorang dapat dikatakan memperoleh kemaslahatan dalam hidupnya
jika dia dapat memelihara dan mewujudkan dengan baik dan optimal kelima unsur
pokok tersebut. Dan seseorang akan mendapatkan kerusakan jika ia tidak berusaha
untuk memelihara dan mewujudkan kelima pokok tersebut.[3]
Ibnul Qayim berkata:
“Dasar
syari’ah adalah kemaslahatan di dunia dan akherat. Syari’ah semuanya adil,
semuanya rahmat, dan semuanya mengandung hikmah. Tiap masalah yang keluar dari
adil kepada curang, dari rahmat kepada lawannya, dari maslahah kepada mafsadah,
dari hikmah kepada sia-sia sama sekali bukan syari’ah. Syariah itu keadilan
Allah diantara hamba-Nya dan rahmat Allah diantara makhluk-Nya dan bayangan
Allah di bumi-Nya dan hikmah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan kebenaran
Rasul-Nya.”[4]
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Maqashid syari’ah dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut tingkat kepentingannya.
1.
Dharuriyat
(primer) adalah tingkatan dimana berbagai maslahat tersebut tidak akan
terealisasikan tanpa terpenuhinya tingkatan ini. Tentang hal ini Imam Al
Ghazali berkata:
“Memelihara kelima maslahat tersebut termasuk ke dalam tingkatan
dharuriyat.”
Secara
global, menghindarkan setiap perbuatan yang mengakibatkan tidak terpeliharanya
salah satu dari kelima hal pokok di atas tergolong sebagai dharury (prinsip).
Syari’at islam sangat menekankan pentingnya memelihara hal-hal tersebut,
sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) diperbolehkan makan barang
terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain.
Karena itu bagi orang yang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati
kelaparan, diwajibkan memakan bangkai daging babi dan meminum arak.
2.
Hajjiyat
(sekunder) adalah segala sesuatu yang oleh hukum syara’ tidak dimaksudkan untuk
memelihara lima hal pokok tersebut, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan
masyaqad, kesempitan atau ihtiyt (berhati-hati) terhadap lima hal pokok
tersebut. Termasuk kategori ini dalam perkara-perkara mubah, ialah
diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia,
seperti akad Muzara’ah, Musaqah, Salam, Murabahah, dan Tauliyah. Apabila tidak
diperoleh maka tidak akan merusak peraturan hidup dan tidak pula menimbulkan
kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
3.
Tahsiniyat
atau kamaliyat (pelengkap) adalah hal-hal yang tidak dalam rangka
merealisasikan kelima hal pokok dan tidak pula dalam rangka ihtiyath
(berhati-hati), akan tetapi dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan melindungi
kelima hal tersebut. Apabila tidak terpenuhi kehidupan tidak akan rusak dan
juga tidak menimbulkan kesulitan, hanya saja dinilai kurang layak dan kurang
pantas dilihat dari ukuran tata-krama dan kesopanan.[5]
Ditinjau dari segi kaidah
umum (qawaid kulliyah) maslahat itu bertingkat-tingkat. Maslahat yang bersifat
dharuriat lebih diutamakan daripada kemaslahatan yang bersifat hajjiyat.
Sebaliknya, maslahat yang bersifat tahsiniyat lebih diakhirkandari maslahat
dharuriyat dan hajjiyat.[6]
Jika dalam memelihara
hukum tahsiniyat justru merusak hukum dharuriat dan hajjiyat, maka hukum
tahsiniyat tidak perlu dipertahankan. Oleh karena itu diperbolehkan membuka
aurat, apabila diperlukan untuk pengobatan atau tindakan yang bersangkutan
dengan perawatan luka-luka. Karena menutup aurat adalah tahsiniyat, sedangkan
pengobatan adalah dharuriyat. Diperbolehkan memakan barang najis, apabila itu
merupakan obat atau keadaan terpaksa. Karena menghindari najis adalah
tahsiniyat, sedangkan pengobatan dan menolak bahaya adalah dharuriyat. Begitu
juga diperbolehkan menjual benda tak ada di tempat dalam hal salm dan istishna’
(kontak pesanan), dan ketidaktahuan termasuk dalam hal kontrak pertanian,
irigasi dan menjual barang yang tidak tampak, dmaafkan karena kebutuhan manusia
menghendaki maka tahsiniyat ini bisa ditinggalkan.
Hukum hajjiyat juga bisa
ditinggalkan jika di dalam memeliharanya merusak hukum dharuriyat. Untuk itu
beberapa kefardhuan dan kewajiban, wajib dilaksanakan oleh orang mukallaf yang
tidak dalam rukhshoh, sekalipun dalam melaksanakannya dirasakan sulit dan berat
bagi orang itu. Karena setiap pembebanan pasti mengandung beban dan kepayahan.
Seandainya perlu dipeliharaagar kesulitan apa saja tidak menimpa seorang
mukalaf, niscaya beberapa hukum dharuriyat yang berupa ibadah, uqubah, dan
lain-lainnya menjadi sia-sia. Karena setiap perintah dan larangan terhadap
mukalaf adalah dalam rangka memelihara dharuriyat, tidak terlepas dari
keberadaannya dalam melaksanakannya. Tetapi beban keberatan ini pada dasarnya
untuk memelihara hukum-hukum dharuriyat bagi orang yang mukalaf.
Hukum-hukum dharuriyat
itu wajib dipelihara. Tidak boleh merusak salah satu hukum daripadanya, kecuali
bila dalam memelihara hukum dharuriyat itu merusak hukum dharuriyat lain yang
lebih penting. Oleh karena itu wajib berjihad untuk mempertahankan agama
sekalipun disana terjadi pengorbanan jiwa. Atau seseorang diperbolehkan meminum
khamer karena dipaksa meminumnya atau karena rasa haus yang sangat menyengat.
Kerena memelihara jiwa lebih penting daripada memelihara akal.[7]
Untuk memperoleh gambaran
yang lebih jelas mengenai tingkatan Maqashid Syari’ah maka berikut ini
akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing.
Uraian ini bertitik tolak dari kelima hal pokok kemaslahatan yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
a.
Memelihara
agama (hifz al-din)
Menjaga
dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat.
1.
Memelihara
agama dalam tingkatan dharuriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
agamayang termasuk tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu.
Apabila shalat ini diabaikan maka akan terancamlah keutuhan agama.
2.
Memelihara
agama dalam tingkatan hajjiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan
maksud menghindari esulitan seperti shalat jama’ dan qashar bagi orang yang
berpergian jauh. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama melainkan hanya akan mempersulit orang yang sedang
berpergian.
3.
Memelihara
agama dalam tingkatan tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama dan menjunjung
tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada
Tuhan. Misalnya, menutup aurat dalam shalat maupun diluar shalat, membersihkan
badab serta pakaian. Kegiatan ini erat dengan akhlak terpuji. Jika hal ini
tidak dilakukan maka tidak akan mengancam keutuhan agama dan tidak mempersulit
orang yang melakukannya. Artinya jika tidak ada penutup aurat maka seseorang
boleh saja shalat jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk dharuriyat.
b.
Memelihara
jiwa (hifz an-nafs)
Menjaga
dan memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat.
1.
Memelihara
jiwa dalam tingkat dharuriyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan
untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi maka akan
mengakibatkan terancamya jiwa manusia.
2.
Memelihara
jiwa dalam tingkat hajjiyat seperti diperbolehkannya berburu dan menikmati
makanan dan minuman yang lezat. Kalau kegiatan ini diabaikan maka tidak akan
mengacam eksistensi manusia melainkan akan mempersulit hidupnya saja.
3.
Memelihara
jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.
Hal ini hanya berhubungan dengan masalah kesopanan dan sama sekali tidak akan
mengancam eksistensi jiwa manusia maupun mempersulit kehidupan manusia.
c.
Memelihara
akal (hifz al-aqal)
Menjaga
dan memelihara akal berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat.
1.
Memelihara
akal dalam tingkat dharuriyat seperti dilarangnya meminum minuman keras. Jika
hal ini tidak diindahkan maka akan mengakibatkan rusaknya akal.
2.
Memelihara
akal dalam tingkat hajjiyat seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Sekiranya hal ini tidak diakukan maka tidak akan merusak akal tapi akan
mempersulit kehidupan seseorang.
3.
Memelihara
akal pada tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan
sesuatu yang tidak berguna. Hal ini berkaitan erat dengan etika dan tidak akan
mengancam eksistensi akal atau mempersulit kehidupan seseorang.
d.
Memelihara
keturunan (hifz an nasl)
Menjaga
dan memelihara keturunan berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat.
1.
Memelhara
keturunan dalam tingkat dharuriyat seperti disyariatkannya menikah dan larangan
berzina. Kalau peraturan ini tidak dipatuhi maka akan mengancam keutuhan
keturunan.
2.
Memelihara
keturunan dalam tingkat hajjiyat seperti ditetapkan menyebutkan mahar bagi
suami pada waktu akad nikah dan memberikan hak talak kepada sang suami. Jika
hal ini tidak dilakukan maka akan menyulitkan si suami karena dia harus
membayar mahar misil. Sedangkan dalam masalah talaq sang suami akan mengalami
kesulitan jika dia tidak menggunakan hak talaknya sedangkan kondisi rumh
tangganya sudah tidak harmonis lagi.
3.
Memelihara
keturunan dalam tingkat tahsiniyat, seperti disyari’atkannya khitbah (meminang)
atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi
kegiatan perkawinan. Jika hal ini tidak dilakukan maka tidak akan mengancam
keutuhan keturunan tapi hanya sedikit mempersulit saja.
e.
Menjaga
harta (hifz al mal)
Menjaga dan memelihara
harta berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.
Memelihara
harta dalam tingkat dharuriyat seperti disyariatkannya tata cara kepemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Jika
aturan ini dilanggar maka akan mengancam keutuhan harta.
2.
Memelihara
harta dalam tingkat hajjiyat seperti disyariatkannya jual beli dengan cara
salam. Apabila cara ini tidak dipakai maka tidak akan mengancam eksistensi
harta melainkan akan mempersulit orang yang membutuhkan modal.
3.
Memelihara
harta dalam tingkat tahsiniyat seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri
dari usaha penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan masalah etika bermuamalah
atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh kepada kesahan jual beli sebab
peringkat ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang pertama dan kedua.
Uraian diatas hanya
terbatas pada maslahat yang berbeda peringkat saja. Adapun yang peringkatnya
sama seerti peringkat dharuriyat dengan peringkat dharuriyat yang lainnya maka
kemungkinan penyelesaiannya sebagai berikut.
a.
Jika
perbuatan itu terjadi dalam urutan yang berbeda dari lima pokok kemaslahatan
tersebut maka skala prioritasnya didasarkan kepada urutan yang lebih baku,
yakni agama harus didahulukan dari jiwa, akal, keturunan dan harta. Hal ini
dapat dilihat dengan jelas pada contoh berikut ini.
Jihad dijalan Allah SWT termasuk dharuriyat untuk memelihara eksistensi
agama. Tetapi jihad seringkali mengorbankan jiwa. Maka dalam hal ini memelihara
agama lebih diutamakan daripada memelihara jiwa. Karena agama berada peringkat
agama sedangkan jiwa berada diperingkat kedua.
b.
Seseorang
dibenarkan untuk meminum khamer yang memabukkan walaupunpada dasarnya dapat
merusak eksistensi akal. Hal ini dilakukan apabila ia terancam jiwanya jika
tidak meminum khamer itu. Dalam kasus seperti ini harus didahulukan memelihara
jiwa daripada memelihara akal. Karena jiwa lebih tinggi peringkatnya daripada
akal.[8]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Maqashid
Syari’ah adalah maksud agama atau hal-hal
yang menjadi tujuan agama.
b.
2.
Kritik dan Saran
Dalam makalah ini tentunya terdapat banyak sekali kekurangan demi
kekurangan untuk itu kami meminta kritik dan sarannya demi perbaikan makal ini
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Safiudin
Shidiq, M.Ag. “Ushul Fiqih”. PT Media Ciptanusantara, hal. 169
Prof. M. Abu Zahrah.
“Ushul Fiqih”. Pustaka Firdaus:Jakarta, 2008, hal. 553-555
Drs. Khairul Uman
& Drs. H. A. Achyar Aminudin. “Ushul Fiqih II”. Pustaka Setia: Bandung,
2001. Hal.127
Prof. Dr. Abdul
Wahab Khalaf. “Ilmu Ushulul Fiqh”. Gema Risalah Press:Bandung, 1992, hal.
368-369.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar