Ternyata
menjadi seorang leader itu tidak segampang membuat kue atau mengerjalakan
soal-soal logaritma. Membuat kue dapat selesai dalam waktu beberapa jam saja.
Membuat kue hanya perlu membaca resepnya dan menyiapkan alat serta bahannya
saja. Mengerjakan soal-soal matematika juga mungkin hanya membutuhkan waktu 120
menit saja. Jika sudah menguasi rumusnya maka semua soal dapat ditaklukkan
dengan sangat mudahnya. Bahkan ada cara-cara smartnya yang mempermudah
mengerjakan soal-soal matematika hanya beberapa menit saja dari pengerjaan
normalnya. Berbeda dengan memimpin orang banyak yang tidak ada resep manjur
yang bisa langsung mengatasi segala macam permasalahan yang muncul. Memimpin
butuh tenaga, pemikiran serta benar-benar meluangkan waktu yang banyak.
Sehingga
tidak jarang pemimpin yang belum profesional, memimpin anggotanya dengan
mengedepankan emosi. Ketika anggotanya tidak melakukan sesuai apa yang dia
inginkan maka emosilah yang pertama kali berbicara. Pemandangan seperti inilah yang terjadi ketika saya
pertamakali diberikan kepercayaan sebagai seorang leader. Yakni menjadi seorang
wakil ketua oganisasi BES (badan eksekutif santri) disebuah pondok pesantren.
Setelah sebelumnya ada beberapa orang yang mencoba memimpin BES tetapi gagal
ditengah-tengah perjalanan. Kegagalan
mereka rata-rata karena tidak dapat menjalankan roda kepemimpinan BES dengan
baik, disebabkan oleh adanya beberapa anak yang tidak bisa diatur dengan baik.
Nah, ditengah-tengah kegagalan yang mewarnai sejumlah pimpinan BES tersebut,
saya diminta untuk tampil memberikan suasana kepemimpinan yang baru dan bisa
membawa anggota kedalam keberhasilan. Seribu harapan dan cita-cita dengan
terpilihnya pemimpin baru ini. Walaupun kita tahu bahwa ini adalah tugas yang sangat berat.
Perasaan
bangga bercampur seribu kekhawatiran akan bayang-bayang kegagalan sebagaimana
yang telah terjadi sebelumnya terus membayangi selama masa kepemimpinanku. Dan
masih ditambah lagi sebuah tanggung jawab besar yang tidak main-main.
Sekarang
saya benar-benar sebagai seorang leader yang haruys bekerja keras. Maka hari
demi haripun saya lalui dengan beberapa program yang telah disusun sebelumnya,
yang merupakan gabungan antara program-program yang sebelumnya telah dibuat
oleh pimpinan lama dengan program baru hasil kreatifitasku. Dari sinilah saya
bisa merasakan bagaimana harus menggerakkan dan memanajemen orang banyak agar
sumber daya yang dia punyai bisa termanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dari
beberapa hari yang sudah aku lalui itu aku sudah bisa mengambil kesimpulan
bahwa memimpin orang itu ternyata tidaklah mudah. Pembangkangan demi
pembangkangan, protes, kritik, sampai hinaan adalah pemandangansetiap hari yang
harus aku hadapi sebagai seorang leader. Sangat sulit sekali untuk menggerakkan
meka pada program yang telah disusun.
Akhirnya
yang tumbuh dalam diriku adalah sikap putus asa, jengkel, marah dan lain
sebagainya terhadap para anggota yang tidak mau dipimpin. Kemudian sifat tersebut menumbuhkan cara-cara yang
keras, kasar, kata-kata yang kasar dan menyakitkan ketika menggerakkan teman-teman
pada suatu pekerjaan. Buah dari itu
semua bukanlah kepatuhan dari anggota kan tetapi malah pembangkangan demi
pembangkangan terhadap perintah yang diberikan atau berusaha untuk bekerja
seminimal mungkin.
Setiap saat pemandangan itulah yang selalu mewarnai
kepemimpinanku dan bawahan pun semakin membangkang pula. Seolah-olah berbanding
lurus dengan apa yang saya lakukan. Semakin saya keras memaksa mereka juga
semakin membangkang melaksanakan perintah. Masa kepemimpinanku tidak
berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian karena tidak ada kesingkronan antara
pimpinan dengan anggota akhirnya BES (Badan Eksekutif Santri) harus dibubarkan.
Sebagai
pengantinya, maka diangkatlah kepala asrama (sebelumnya merupakan berada
dibawah BES). saya pada saat itu terpaksa turun jabatan dan menjadi
bawahan kepala asrama. Disitulah saya bisa melihat kaadaan
diri saya sendiri yang ternyata juga tidak bisa secara sempurna mematuhi
perintah yang diberikan oleh kepala asrama. Diri saya tidak jauh beda dengan
teman-teman lain yang dulunya aku pimpin. Ya kadang sama-sama malas, sama-sama
sering berbuat kesalahan, sama-sama sering tidak tepat waktu dalam tugas. Saya
rasa itulah sifat asli dari manusia yang sulit untuk dihilangkan seluruhnya,
tetapi hanya bisa dimanagemen saja.
Dari
sinilah, aku mulai sadar bahwa setiap manusia (bawahan-red) mempunyai segudang
kelemahan. Selalu memimpin mereka dengan emosi dan kata-kata umpatan, bukanlah
sebuah solusi. Hal itu hanya akan menambah pembangkanagan mereka terhadap
pemimpin bukannya semakin bertambah baik. Pemimpin tidak boleh melihat
bawahannya seperti orang yang sedang diatas langit. Ketika melihat kebawah
(melihat bawahannya) yang dengan segudah kelemahan dan kesalahan, tampak
demikian rendah dan kecil. Seolah-olah dia merasa
asing dengan kelemahan yang dimiliki bawahannya. Kesalahan bawahan
seolah-olah tidak bisa termaafkan, teringat selama-lamanya. Dirinya seolah-olah
suci dari segala kesalahan. Sehingga ketika menyuruh mereka selalu menggunakan
kata-kata yang kasar dan kemarahan. Kalau terjadi
kegagalan terhadap apa yang dia perintahkan maka bawahannya itu akan menjadi
sasaran kemarahannya. Dengan begitu akan muncul sikap-sikap otoriter dalam
kepemimpinannya karena dia telah merasa “paling/lebih” dalam segala hal, paling
pintar, paling baik, paling sempurna dan kelebihan-kelebihan yang lain. Pemimpin
diatas langit ini biasanya orang-orang yang dulunya tidak pernah merasakan
dipimpin. Tidak pernah menjadi bawahan yang ternyata tidak bisa sempurna dalam
setiap tindakannya, selalu ada celah kesalahan di sana-sini.
Tetapi pemimpin juga tidak boleh seperti orang yang
sama-sama berada di bumi,
tidak mampu memberikan evaluasi dan tindakan yang tegas atas segala kesalahan
dan kekurangan bawahannya. Takut terhadap
bawahannya, entah itu takut melukai perasaan bawahannya atau ketakutan akibat
kurangnya percaya diri. Dengan pola kepemimpinan yang seperti ini bawahan akan
carut-marut, bekerja sendiri-sendiri sekehendak hatinya. Akhirnya target
keberhasilan yang ingin dicapai pun menjadi tidak jelas. Kalau tujuannya sudah
tidak jelas maka hasilnya pun pasti akan lebih tidak jelas lagi. Beberapa
kesalahan yang seharusnya bisa dievaluasi kemudian diperbaiki di kemudian hari
pun akan menjadi terbengkalai. Tak ada evalusi yang itu artinya juga tidak ada
perbaikan di kesempatan selanjutnya. Kesalahan akan seterusnya menjadi
kesalahan dan akan senantiasa bertambah seiring dengan pekerjaan yang
dilakukannya. Pemimpin yang seperti ini biasanya pemimpin yang belum mempunyai
sejarah kepemimpinan. Pengalaman-pengalaman tentang memimpin orang belum ada.
Akhirnya ketika mencoba memimpin orang sifat yang muncul adalah sifat takut,
minder (kurang percaya diri), merasa lebih rendah, kurang pengalaman, dan lain
sebagainya.
Cara yang terbaik
hanyalah memulai menjadi pemimpin yang “melangit dan membumi”. Maksudnya,
menjadi pemimpin yang mampu memanagemen, mengevaluasi, dan memperbaiki baik
kesalahan ataupun kekurangan bawahan dengan cara-cara yang baik. Pemimpin
yang mempunyai otoritas terhadap bawahannya tanpa harus bertindak otoriter. Itulah pemimpin ideal dan pemimpin yang dicintai oleh
bawahannya. Tipe seperti ini biasanya pemimpin yang sudah banyak
pengalamanannya di bidang kepemimpinan dan juga telah banyak merasakan
bagaimana sulitnya ketika harus menjadi bawahan.
Setelah
beberapa lama menjadi bawahan, akhirnya kesempatan
untuk menjadi seorang leader pun datang kembali. Saya
atas pilihan dari semua temen-temen akhirnya diangkat menjadi kepala asrama.
Ilmu yang sudah saya terima tersebut kemudian saya terapkan pada kepemimpinanku
yang sekarang ini. Dengan penerapan sistem kepemimpinan yang “melangit dan
membumi” tersebut akhirnya keadaan berbeda dengan semula. Era kepemimpinanku
yang sekarang ini terasa lebih indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar