Rabu, 26 Agustus 2015

Antara Film dan Realitas



Film pada awalnya adalah sebuah fantasi atau khayalan tentang suatu peristiwa yang belum terjadi dalam masyarakat. Misalnya, negara-negara Barat membuat film yang menampilkan kecangiahan teknologi dan persenjataan perang. Selain itu film juga sebagai suatu harapan publik akan suatu hal tertentu yang menjadi kebutuhan mereka. Misalnya, negara-negara di Eropa banyak membuat film Super hero seperti, Kapten Amerika, Supermen, Batman dan lain sebagainya. Karena ternyata negara-negara di Eropa merupakan negara yang kurang aman dan banyak sekali terjadi kasus kriminalitas sehingga mereka mengharapkan datang sosok Superhero yang bisa menolongnya.
 
Maka tak dapat dipungkiri bahwa film mempunyai suatu pengaruh psikologis bagi orang yang menontonnya. Pengaruh itu terjabar dalam tingkah lakunya. Negara-negara Barat akhirnya beberapa tahun kemudian berlomba-lomba melakukan berbagai inovasi di bidang teknologi. Kecangihan-kecangihan yang dulunya hanya bisa dinikmati dalam film kini sudah dapat dirasakan di dunia nyata.
Dengan hal ini menjadi suatu yang sangat ironi, di Indonesia film yang seharusnya dijadikan sebagai media persuasi dan inspirasi bagi warganya untuk mendorong semangat berkarya justru sebagian besarnya menampilkan kisah percintaan dan problematika remaja. Dalam film tersebut, digambarkan seolah-olah puncak kebahagiaan dan keberhasilan itu ketika berhasil menikah dengan orang yang dia cintai. Kemudian setelah itu hidup dengan penuh kebahagiaan. Happily ever after. Padahal kenyataannya tidak begitu. Permasalahan yang timbul sebelum menikah itu lebih ringan daripada permasalahan setelah menikah. Permasalahan sebelum menikah hanya bagaimana caranya agar orang yang kita cintai mencintai kita juga. Namun permaslahan setelah menikah lebih kompleks lagi seperti, permasalahan ekonomi, anak-anak, keharmonisan hubungan suami-istri yang makin lama makin membosankan, masalah sosial-kemasyarakatan dan lain sebagainya. Film tersebut sebenarnya sedang mendorong kita berfokus pada satu permasalahan kecil dan melupakan permaslahana kompleks yang terjadi di depan sana.
Dimungkinkan sang sutradara membuat film tersebut ingin menunjukkan pesan moral bahwa jangan sampai terjadi permasalahan itu di masyarakat. Tetapi realitas justru berkata lain. Seseorang yang melihat kejadian seorang anak geng di sekolah sedang mem-bully anak lain yang dikenal sebagai anak baik, justru akan mengambarkan dirinya sebagai pemimpin geng tersebut bukan sebagai anak baik yang sedang di-bully tersebut. Pada kejadian lain misalnya, ada seorang gembong narkoba yang mempunyai keahlian dan teknik tertentu untuk menghindar dari kejaran polisi maka orang yang melihatnya akan memfisualisasikan dirinya sebagai gembong narkoba itu bukan sebagai polisi yang mengejarnya. Hal itu tidaklah mengherankan karena manusia mempunyai sifat ingin menjadi yang terbaik, terkuat, menang dan unggul.
Maka dari itu, marilah kita beralih dari film-film yang tidak mendidik menuju film-film yang memacu semangat berkarya agar tercipta realitas di Indonesia yang lebih baik lagi.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar