Minggu, 29 Mei 2016

Pilih Mana???



Warga Jakarta (kemungkinan juga terjadi di daerah dan negara lain) sering dihapkan pada dua pilihan:
“Mana yang lebih baik; pemimpin muslim tetapi korupsi atau pemimpin non-muslim tetapi jujur?”
Kita sih, inginnya pemimpin muslim namun jujur dan amanah. Namun apabila yang seperti itu tidak ada maka sebagai seorang muslim kita seharusnya memilih pemimpin muslim walaupun korup. Mengapa?
Karena dosa korupsi itu akan ditanggung oleh sang pemimpin itu sendiri sedangkan kita tidak berdosa. Kita hanya mengalami sedikit kerugian di dunia yang amat sebentar ini. Paling lama 100 tahun. Sedangkan di akherat yang kekal selamanya itu kita selamat. Tidak mendapatkan kerugian apapun. Tetapi kalau kita memilih pemimpin yang kafir kita semua (orang-orang yang memilih akan mendapatkan dosa karena melanggar larangan Allah SWT berikut.
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al Maidah 5:51)
Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas mengutip perkataan Ibnu Abi hatim yang mengatakan bahwa dari ‘Iyad, “Bahwa Umar pernah menyuruh Abu Musa Al Asy’ari untuk melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada selembar kulit yang telah disamak. Pada waktu itu, Abu Musa Al Asy’ari mempunyai seorang sekretaris beragama Nasrani. Kemudian sekretarisnya itu menghadap Umar untuk memberikan laporan, maka Umar sangat kagum seraya berujar, “Ia benar-benar orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa membacakan untuk kami di masjid, satu surat yang baru kami terima dari Syam?”. Maka Abu Musa Al Asy’ari mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka Umar bertanya: “Apakah ia junub?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi ia seorang Nasrani”. Maka Umar pun menghardikku dan memukul pahaku, lalu berkata: “Keluarkanlah orang itu”. Selanjutnya Umar membacakan ayat di atas.  
Dari kisah di atas kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa ketelitian, kejujuran dan kebaikan-kebaikan yang lainnya bukan kriteria utama dalam memilih pemimpin. Keislaman seseorang merupakan kriteria utama seseorang untuk dipilih menjadi penguasa atau pemimpin sebelum yang lainnya. Pertimbangan kemaslahatan itu bukanlah penyebab ('illat) hukum boleh atau tidaknya pemimpin kafir, tetapi hasil dari penerapan hukum Islam. Indonesia memang bukanlah negara Islam, tapi ada perkara-perkara yang umat islam tetap wajib terikat dengannya. Misalnya, nikah tanpa menggunakan hukum Islam di bawah catatan sipil, maka pernikahanya tidak sah. Kehidupan suami-istri tersebut dianggap berzina. Lagi pula permaslahan pemimpin harus muslim dan tidak boleh kafir sudah menjadi kesepakatan ulama baik salaf maupun khalaf. walaupun sekarang umat islam terpecah menjadi beberapa golongan namun syarat pemimpin harus muslim tidak ada khilaf di kalangan para ulama[1].
Memilih pemimpin muslim walaupun korup merupakan suatu bentuk pengambilan mafsadat yang lebih ringan sesuai dengan kaidah:
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)
Tetapi, dua pilihan di atas sebenarnya kurang cocok diterapkan di Jakarta karena memang di sana banyak orang-orang islam yang sangat shaleh. Dan insya allah kalau diamanahi jabatan tidak akan korup.


[1] Disadur dari pernyataan: Ust. Hafidz Abdurrahman di tabloid media ummat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar