Warga Jakarta (kemungkinan juga terjadi di
daerah dan negara lain) sering dihapkan pada dua pilihan:
Kita sih, inginnya pemimpin muslim namun jujur
dan amanah. Namun apabila yang seperti itu tidak ada maka sebagai seorang
muslim kita seharusnya memilih pemimpin muslim walaupun korup. Mengapa?
Karena dosa korupsi itu akan ditanggung oleh
sang pemimpin itu sendiri sedangkan kita tidak berdosa. Kita hanya mengalami
sedikit kerugian di dunia yang amat sebentar ini. Paling lama 100 tahun.
Sedangkan di akherat yang kekal selamanya itu kita selamat. Tidak mendapatkan
kerugian apapun. Tetapi kalau kita memilih pemimpin yang kafir kita semua
(orang-orang yang memilih akan mendapatkan dosa karena melanggar larangan Allah
SWT berikut.
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ
وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
٥١
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Q.S.
Al Maidah 5:51)
Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsir dalam
menafsirkan ayat di atas mengutip perkataan Ibnu Abi hatim yang mengatakan
bahwa dari ‘Iyad, “Bahwa Umar pernah menyuruh Abu Musa Al Asy’ari untuk
melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada selembar
kulit yang telah disamak. Pada waktu itu, Abu Musa Al Asy’ari mempunyai seorang
sekretaris beragama Nasrani. Kemudian sekretarisnya itu menghadap Umar untuk
memberikan laporan, maka Umar sangat kagum seraya berujar, “Ia benar-benar
orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa membacakan untuk kami di masjid,
satu surat yang baru kami terima dari Syam?”. Maka Abu Musa Al Asy’ari
mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka Umar bertanya: “Apakah ia junub?” Ia
menjawab: “Tidak, tetapi ia seorang Nasrani”. Maka Umar pun menghardikku dan
memukul pahaku, lalu berkata: “Keluarkanlah orang itu”. Selanjutnya Umar
membacakan ayat di atas.
Dari kisah di atas kita bisa mengambil suatu kesimpulan
bahwa ketelitian, kejujuran dan kebaikan-kebaikan yang lainnya bukan kriteria
utama dalam memilih pemimpin. Keislaman seseorang merupakan kriteria utama
seseorang untuk dipilih menjadi penguasa atau pemimpin sebelum yang lainnya.
Pertimbangan
kemaslahatan itu bukanlah penyebab ('illat) hukum boleh atau tidaknya pemimpin
kafir, tetapi hasil dari penerapan hukum Islam. Indonesia
memang bukanlah negara Islam, tapi ada perkara-perkara yang umat islam tetap
wajib terikat dengannya. Misalnya, nikah tanpa menggunakan hukum Islam di bawah
catatan sipil, maka pernikahanya tidak sah. Kehidupan suami-istri tersebut
dianggap berzina. Lagi pula permaslahan
pemimpin harus muslim dan tidak boleh kafir sudah menjadi kesepakatan ulama
baik salaf maupun khalaf. walaupun sekarang umat islam terpecah menjadi
beberapa golongan namun syarat pemimpin harus muslim tidak ada khilaf di
kalangan para ulama[1].
Memilih pemimpin muslim walaupun korup merupakan suatu
bentuk pengambilan mafsadat yang lebih ringan sesuai dengan kaidah:
“Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua
mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul
Bari, 9: 462)
Tetapi, dua pilihan di atas sebenarnya kurang cocok
diterapkan di Jakarta karena memang di sana banyak orang-orang islam yang
sangat shaleh. Dan insya allah kalau diamanahi jabatan tidak akan korup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar