Film pada awalnya adalah sebuah fantasi atau khayalan tentang suatu
peristiwa yang belum terjadi dalam masyarakat. Misalnya, negara-negara Barat
membuat film yang menampilkan kecangiahan teknologi dan persenjataan perang. Selain
itu film juga sebagai suatu harapan publik akan suatu hal tertentu yang menjadi
kebutuhan mereka. Misalnya, negara-negara di Eropa banyak membuat film Super
hero seperti, Kapten Amerika, Supermen, Batman dan lain sebagainya. Karena ternyata
negara-negara di Eropa merupakan negara yang kurang aman dan banyak sekali
terjadi kasus kriminalitas sehingga mereka mengharapkan datang sosok Superhero
yang bisa menolongnya.
Maka tak dapat dipungkiri bahwa film mempunyai suatu pengaruh
psikologis bagi orang yang menontonnya. Pengaruh itu terjabar dalam tingkah
lakunya. Negara-negara Barat akhirnya beberapa tahun kemudian berlomba-lomba
melakukan berbagai inovasi di bidang teknologi. Kecangihan-kecangihan yang
dulunya hanya bisa dinikmati dalam film kini sudah dapat dirasakan di dunia
nyata.
Dengan hal ini menjadi suatu yang sangat ironi, di Indonesia film
yang seharusnya dijadikan sebagai media persuasi dan inspirasi bagi warganya
untuk mendorong semangat berkarya justru sebagian besarnya menampilkan kisah
percintaan dan problematika remaja. Dalam film tersebut, digambarkan
seolah-olah puncak kebahagiaan dan keberhasilan itu ketika berhasil menikah
dengan orang yang dia cintai. Kemudian setelah itu hidup dengan penuh
kebahagiaan. Happily ever after. Padahal kenyataannya tidak begitu. Permasalahan
yang timbul sebelum menikah itu lebih ringan daripada permasalahan setelah
menikah. Permasalahan sebelum menikah hanya bagaimana caranya agar orang yang
kita cintai mencintai kita juga. Namun permaslahan setelah menikah lebih
kompleks lagi seperti, permasalahan ekonomi, anak-anak, keharmonisan hubungan
suami-istri yang makin lama makin membosankan, masalah sosial-kemasyarakatan
dan lain sebagainya. Film tersebut sebenarnya sedang mendorong kita berfokus
pada satu permasalahan kecil dan melupakan permaslahana kompleks yang terjadi
di depan sana.
Dimungkinkan sang sutradara membuat film tersebut ingin menunjukkan
pesan moral bahwa jangan sampai terjadi permasalahan itu di masyarakat. Tetapi realitas
justru berkata lain. Seseorang yang melihat kejadian seorang anak geng di
sekolah sedang mem-bully anak lain yang dikenal sebagai anak baik,
justru akan mengambarkan dirinya sebagai pemimpin geng tersebut bukan sebagai
anak baik yang sedang di-bully tersebut. Pada kejadian lain misalnya,
ada seorang gembong narkoba yang mempunyai keahlian dan teknik tertentu untuk
menghindar dari kejaran polisi maka orang yang melihatnya akan
memfisualisasikan dirinya sebagai gembong narkoba itu bukan sebagai polisi yang
mengejarnya. Hal itu tidaklah mengherankan karena manusia mempunyai sifat ingin
menjadi yang terbaik, terkuat, menang dan unggul.
Maka dari itu, marilah kita beralih dari film-film yang tidak
mendidik menuju film-film yang memacu semangat berkarya agar tercipta realitas di
Indonesia yang lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar