Banyak orang beramai-ramai menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan
berbagai macam amala. Seperti, membaca Ya Sin, dzikir dan doa-doa tertentu.
Akan tetapi apakah semua ini pernah dicontohkan oleh Rsulullah SAW dan para
sahabatnya?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini
pada malam Nisfu Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Ibnu Abil
Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan
Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nisfu sya’ban dia melaksanakan shalat di
Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria.
Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu
akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika datang tahun
berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam Nisfu sya’ban.
Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di
rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah
Nabi.[1]
Dari sejarah tersebut dapat kita ketahui bahwa yang mencontohkan
untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban bukanlah Rasulullah SAW dan para
sahabatnya melainkan Ibnu Abil Hamroo’.
Biasanya mereka melakukan amalan tersebut berdasarkan pada hadist
berikut ini.
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ
النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ
مُشَاحِنٍ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah
akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya’ban kemudian mengampuni semua
makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390)[2]
Berdasarkan hadist mursal di atas Allah SWT turun di malam Nisfu
Sya’ban untuk mengampuni dosa-dosa selain dosa orang-orang yang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.
Tetapi marilah kita bandingkan dengan hadist berikut ini.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ
إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ
فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ
لَهُ
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita
Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika
sepertiga malam terakhir, (kemudian) Dia berfirman, ‘Barang siapa berdoa
kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku, niscaya
akan Aku berikan, dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku
ampuni.”[3]
Dalam hadist di atas dikatakan bahwa Allah SWT juga turun di
sepertiga malam ke langit dunia bukan hanya untuk mengampuni dosa-dosa
hamba-Nya, melainkan juga untukk mengabulkan semua hajat-hajat hamba-Nya yang
bengun (Qiyamul Lail) kemudian berdo’a menyampaikan hajatnya. Itu artinya,
kalau ada orang yang memohon ampun atas dosanya pasti Dia kabulkan. Tetapi ada
plusnya, yakni plus mengabulkan do’a-do’a lainnya seperti mengabulkan
permintaan hamba-Nya yang meminta rezeki, jodoh, umur panjang dan ketetapan
atas iman-islam.
Jadi mana yang lebih utama, turunnya Tuhan di malam Nisfu Sya’ban
ataukah ketika turun di sepertiga malam?
Pastinya, ketika turun di sepertiga malam. Lalu mengapa banyak
orang yang begitu ambisius memperoleh keutamaan-keutamaan malam Nisfu Sya’ban
dan meninggalkan keutamaan sepertiga malam dari amalan shalat tahajud, witir,
dzikir doa dan membaca Al Qur’an? Padahal misi besar itu justru Allah SWT bawa
di sepertiga malam bukan di malam Nisfu Sya’ban. Lagi pula hadist yang
menyatakan bahwa Allah SWT turun di sepertiga malam merupakan hadist Dhaif yang
mursal.
Hal ini terjadi tidak lain karena godaan syetan yang terkutuk. Sebab
salah satu senjata syetan dalam menggoda manusia adalah dengan membuat semangat
tinggi mengerjakan amalan yang kurang utama fadhilahnya sehingga ibadah yang
lebih utama fadhilahnya menjadi terlalaikan.
[1] http://rumaysho.com/amalan/kekeliruan-di-malam-nishfu-syaban-386.html
[2] http://m.rumaysho.com/amalan/meninjau-ritual-malam-nishfu-syaban-1148.html
Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya)”.Berarti
hadits tersebut dho’if (lemah).
[3] Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, kitab At-Tahajud, bab Ad-Du’a fish Shalah min Akhiril Lail,
no. 1145; kitab Ad-Da’awat, bab Ad-Du’a Nishfu Al-Lail, no. 6321; dan kitab At-Tauhid, bab Qaul Allahu Ta’ala: Yuriduna An Yubaddilu
Kalam Allah, no. 7494.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar