Senja kini telah berganti malam. Kegelapannya perlahan-lahan merasuki ruang
dibumi. Kepekatannya yang mengerikan perlahan-lahan mulai turun, tetapi malam
ini kepekatannya tak seperti malam-malam yang telah berlalu, berkat sinarnya
sang bulan di angkasa sana. Suara jangkrik riuh rendah bernyanyi
bersahut-sahutan memecahkan keheningan malam itu. Namun suaranya tak mampu
menghibur hati seorang ibu yang sedang bersedih didalam rumah tua nan reot yang
atapnya dari genting-genting tua itu hampir rubuh.
Di sebuah rumah reot itu dibawah temaramnya sinar lampu minyak yang cahayanya
bergoyang kekiri-kekanan ditiup angin yang masuk melalui lubang ventilasi yang
tak beraturan dan bertebaran dirumah itu akibat dindingnya telah keropos dimakan
waktu, tampaklah seorang ibu yang dipipi keriputnya dibanjiri dengan derasnya
air mata. Tangannya menggengam erat-erat tangan anaknya Wijaya Permana namanya.
Sebuah nnama yang gagah berani seperti seorang tokoh dalam cerita fiktif dalam
cerita Elang Sutawijaya yang berhasil selamat setelah menunggu gedung pusaka
kerajaan mataram yang konon angker. Tangan wijaya kini hanya tinggal
tulang-belulang saja akibat sakit yang dia derita sejak seminggu yang lalu.
Penyakitnya ini berawal ketika pada suatu senja hari yang temaram setelah
seharian menanggisi kepergian ayahnya yang merantau ke sebuah kota yang
berjuluk kota katrokpolitan. Dia rela meninggalkan putra semata wayangnya demi
uang untuk membayar utangnya yang telah membengkak, awalnya utangnya tidak besar,
Cuma Rp. 50.000,00 yang sekedar ia gunakan untuk memperbaiki pintu yang jebol
akibat diamuk angin. Tetapi lama-kelamaan akibat jerat rentenir, utangnya kini
menjadi Rp. 500.000,00. Dia diancam akan dibunuh jika tidak segera melunasi
utang tersebut.
Ibu yang berluluran air mata tersebut masih memegang tangan anaknya, kini
semakin lama semakin erat. Sementara anaknya yang sudah tertidur dengan
pulasnya sesekali mengigau karena panas ditubuhnya kini hamper mencapai tiga
puluh derajat celcius. Melihat keadaan anaknya tersebut, tangisan ibunya
semakin tersedu-sedu bertambah keras. Suara tangisannya sang ibu itu
seolah-olah terdengar seperti menggiringi suara jangkrik yang berderik
bernyanyian riang diluar sana dibawah cahaya bulan yang cahayanya menembus
rindangnya dedaunan.
Cahaya bulan diangkasa nan tinggi disana juga turut menyibak ketemaraman isi
rumah reot yang hanya diterangi oleh satu lampu minyak yang tergantung disisi
atas sebuah dinding dekat tempat tidur itu. Cahaya bulan yang menembus kaca
yang penuh dengan debu, seolah-olah turut menghibur hatinya wijaya yang kini
sedang larut dalam sebuah kepiluan yang terbungkus oleh duka lara nestapa.
Tangisan tersedu-sedunya sejak tadi belum juga mereda. Matanya yang penuh lelehan
air mata itu memandang bulan bugil bulat diantara ratus ribuan bintang-bintang
yang bertebaran diangkasa raya sana. Tampaklah lembah-lembah dibulan itu
seperti lukisan seorang bidadari yang sedang memangku anaknya. Yang tak pernah
melepaskan anaknya dari pangkuannya barang sedetik ataupun seperdetikpun. Sejak
zaman dinaosaurus belum lahir hingga kini dinaosaurus sudah punah ia tak pernah
dan tak menginginkan sama sekali untuk melepaskan anaknya dari dekapan
hangatnya.
“Nak, sayangku padamu tak akan pernah lapuk oleh hujan apalagi lekang oleh
berjalannya waktu. Walaupun kini engkau sedang sakit separah ini, ibumu ini
tetap menyayagimu seperti bidadari dibulan sana yang selalu memangku anaknya
dengan rasa penuh kasih sayang”bisik ibunya kepada wijaya permana disamping
telingga kananya sambil tersedu-sedu menahan suara tangisannya. Dielus-elusnya
juga rambut anaknya yang kini kering kerontang akibat tak pernah keramas
seminggu belakangan ini akibat penyakitnya yang tak kunjung sembuh-sembuh juga.
Tangisan itu kini perlahan-lahan mulai mereda, hingga akhirnya tangisan itu tak
terdengar lagi bak ditelan gelapnya dan sunyinya malam ini. Yang terdengar kini
hanyalah suara musik jangkrik dan jarum jam yang tergantung didinding dekat lemari.
Suaranya menyanyat-nyanyat kesunyian malam, kreek…..krekkk….kkreee…..k.
Angin malam yang dinginnya minta ampun, berhembus menerobos celah-celah rumah,
sebagian menghempas dua insane yang sedang tertidur lelap, mungkin sedang
terbuai dalam indahnya mimpi. Sebagiannya lagi menghempas api lampu minyak
sehingga kini lenggokkannya semakin hot saja. Cahayanya mulai terllihat sayu
dan kelelahan karena telah berkecamuk bersama bulan melawan gelapnya malam ini,
sejak suara adzan magrib bergema di puncak menara tinggi di sebuah surau di
desa itu.
Suara renggekan itu kembali terdengar lagi dari mulut munggil wijaya memanggil
ibunya.
“bu…ibu…uuu…sa…akit…bu..sa..kiitt.”
renggek wijaya kepada ibunya.
Dengan spontan ibunya terbangun dan kembali mengelus-elus rambut anaknya.
“ya, nak ibu tahu…emang sakit nak…tapi, tenanglah nak, ini hanyalah cobaan dari
Yang Maha Kuasa. Pasti aka nada hikmahnya dibalik semua ini.” Kata ibunya
menengkannya.
Kemudian diambilnya kain merah lalu dicelupkannya kedalam air lalu
meletakkannya di atas kening Wijaya Permana agar panasnya cepat turun.
Diambilnya juga nyiur kelapa yang masih muda lalu diikatkan dikepala anaknya
untuk menguranggim rasa sakit di kepalanya akan tetapi rengekannya belum juga
berhenti.
“saaa….kkkkiit, buuu…sakiiiiit,buuu aduh sakit bangeeet.”
“ia nak. Diamlah biar cepat sembuh, ntar kalau udah sembuh dan bapakmu sudah
pulang, terus Wijaya mau beli apa?” kata ibunya membujuk agar anaknya berhenti
menangis.
“Wijaya, ehm Wijaya mau beli mobil-mobilan merah yang guuueede banget, boleh
kan bu?” Wijaya mengucapkan permintaannya sambil terisak-isak dalam tangisnya.
“boleh-boleh saja asalkan kamu nanti sudah sembuh ya nak. Makanya agar cepat
sembuh kamu sekarang behenti menangis kemudian tidur supaya besok kalau kamu
bangun tidur kamu sudah sembuh, oke.”
Sambil dielus-elus kakinya, perlahan-lahan namun pasti ia mulai tidur lagi.
Kemudian ibunya pun juga ikut tertidur lagi disampingnya setelah ia menyelimuti
tubuh anaknya.
#####################################################################
Kini pagipun perlahan-lahan mulai turun menjelang bersama embun pagi yang
bersahaja, yang menemani keindahan pagi ini sebelum sang raja siang bangun dari
tempat peraduannya.
Kedua insan, seorang anak dan ibunya masih tertidur terlelap, sementara lampu
minyak yang berlenggok-lenggok semalam suntuk kini sinarnya telah padam.
Jangkrik-jangkrik yang konser semalam penuh diantara tumpukan daun-daun kering
dan dibawah bongkahan tanah bekas ketela dicabut, kini telah terdiam seribu
bahasa.
Bulan bugil bulat tempat bidadari memangku anaknya kini telah menghilang
ditelan hampanya bumi. Kepergiannya menimbulkan duka yang amat sangat bagi
jangkrik-jangkrik yang berderik semalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar